Daerah  

FKEAI Sumbar Gelar Pertunjukan Puisi Lagu dan Diskusi Budaya Berbasis AI

Usai menghelat pertunjukan puisi lagu dan diskusi budaya berbasis AI, narasumber dan Ketua DPD SatuPena Sumbar serta sekretarisnya foto bersama dengan narasumber.

FAKTA – Pemanfaatan Artificial Intelligence (AI) atau kecerdasan buatan sangat membantu kerja kreatif seniman dan sastrawan, tetap harus dibingkai dengan nilai moral, etika dan hukum. Jangan sampai penggunaan AI menimbulkan masalah yang menyebabkan kerugian bagi pihak lain karena ketidak jujuran kita.

Hal tersebut terungkap dalam pertunjukkan puisi lagu AI dan Diskusi Budaya Artificial Intelligence dalam Dunia Seni dan Sastra, yang diselenggarakan Forum Kreator Era AI (FKEAI) Provinsi Sumatra Barat (Sumbar) pada Sabtu (16/11/2024) kemaren, di aula Dinas Kebudayaan  Provinsi Sumbar Jalan Samudera Padang. 

Menurut ketua DPD SATUPENA Sumbar, Sastri Bakry, Didampingi sekretarisnya, Armaidi Tanjung, mengatakan, teknologi sangat membantu dalam berkerja, bahkan mempercepat kerja kita.

“Apapun itu, baik sastrawan, seniman, penulis, dan lain-lain tidak terlepas dari AI dan itu punya batasan-batasan. Disana ada etika dan moral,” katanya, saat diwawancarai.

Banyak pekerjaan yang menggunakaan AI, karena sebagai alat untuk, memudahkan manusia dalam berkreatifitas. Termasuk kreatifitas menulis, menulis puisi, bernyanyi, melukis dan kreatifitas lainnya.

“Namun penggunaan AI juga perlu kehati-hatian. Banyak juga AI yang tidak benar, karena itu sengaja didatangkan praktisi hukum pada kegiatan ini,” sebutnya. 

Dikatakannya, FKEAI menyadari bahwa, bagaimana pun kita harus siap beradaptasi dengan perubahan teknologi. 

“Kehadiran FKEAI dan kegiatan ini tidak terlepas dari dukungan dari koordinator FKEAI Pusat Elza Pedi Thaher dan Founder FKEAI Denny JA,” tutur Sastri. 

Menurut Sastri, antologi puisi lagu implementasi dari AI dan diskusi ini adalah bentuk kepedulian kita masuk ke dunia digital yang semakin mengkhawatirkan jika tidak dikelola dengan tepat.

 “Pertanyaan menariknya, apakah AI ini perlu ditolak atau diterima dengan adaptif oleh para seniman, sastrawan, wartawan, budayawan bahkan akademisi,” kata Sastri.

Praktisi hukum, Muhammad Ishak Fahmi, menjelaskan, agar karya dilindungi atau diakui, haruslah terdaftar intelektual hak cipta dan itu dilindungi oleh undang-undang. Pasalnya, AI bukan subjek hukum yang dapat memiliki hak cipta. 

“Namun, jika manusia memainkan peran penting dalam proses penciptaan, hak cipta bisa diberikan kepada manusia tersebut. Ini adalah area yang sedang berkembang dan mungkin mengalami perubahan seiring dengan perkembangan hukum dan teknologi,”ujar Ishak pada diskusi yang dipandu Mutiara Rimba. 

Penanggungjawab puisi lagu AI Refdinal Muzan, menuturkan, kemajuan teknologi sangat mencenggangkan. Hal-hal yang tadinya di luar dugaan, berangsur memasuki dunia nyata, dunia pijakan kita.

 “Apa mesti dielakkan? tak juga mampu kita bendung dan menahan agar bertahan seperti gunung, seperti masa-masa yang biasa kita lalui,”tuturnya.

Ia memberikan contoh membaca puisi yang diciptakan sastrawan dikombinasikan dengan musik yang diciptakan AI membuat penonton yang hadir dari beragam komunitas itu terkesima. 

Sementara itu, dosen Fakultas Bahasa dan Sastra (FBS) Universitas Negeri Padang (UNP), Leni Marlina, menuturkan, dalam persaingan global kita harus menggunakan teknologi. 
Pertunjukan yang bertajuk, menghadapi tantangan dan peluang di era artificial tanpa meninggalkan moral, etika dan hukum, dihadiri oleh para penulis, penyair senior, seniman, mahasiswa, Forum Siti Manggopoh, sekretaris Armaidi Tanjung,  dan anggota SATUPENA. 

Beberapa puisi lagu AI yang ditulis oleh penyair seperti Andria C Tamsin, Syarifuddin Arifin, Emi Suy, Eka Teresia, Mindasari, Marianis, Mutiara Rimba, Refdinal Muzan, Ramli Djafar,  Sastri Bakry, Muh Ishak Fahmi, Leni Marlina, Nelli Gusmita dan Wira Sukma membawa warna baru dalam tampilan pembacaan puisi berbasis AI. (ss)