KUNJUNGAN Presiden RI, Jokowi, untuk ketiga kalinya ke Papua berfokus pada peresmian berbagai proses infrastruktur dan pembangunan.
Hal ini dibutuhkan oleh warga Papua, namun menurut akademisi dan tokoh adat, pembangunan belum bisa menjawab persoalan besar akan apa yang terjadi di sana.
Saat meninjau pembangunan ruas jalan Nduga-Wamena di Kabupaten Nduga, Kamis (31/12), Presiden Jokowi mengatakan bahwa semua kabupaten di Provinsi Papua ditargetkan sudah dilintasi jalur darat pada 2018.
Dalam kunjungan empat harinya di Papua, presiden juga mengunjungi pelabuhan perikanan di Kabupaten Merauke, meresmikan terminal baru Bandara Wamena dan Kaimana, serta meresmikan bandara baru Sorong.
Langkah ini, menurut staf khusus presiden soal Papua, Lenis Kogoya, adalah cara untuk mengatasi berbagai persoalan yang terjadi di sana, meski belum menyasar pada isu-isu politik atau pelanggaran HAM.
“Ya, kalau sementara ini, kita melupakan masa lalu, kejadian apa pun ya. Sekarang kita melihat masa depan, atau kita buka lembaran baru. Tahun 2016 ini kita pikirkan, fokuskan untuk pembangunan. Masyarakat Papua itu kekerasan terjadi bukan karena murni, tapi karena ketidakhadiran (negara) itulah. Maka presiden masuk ke kabupaten-kabupaten itu agar bagaimana keluhan-keluhan masyarakat terjawab, seperti jalan, harga-harga yang mahal dari gunung itu bisa turun, bagaimana caranya. Mungkin 2016-2017 jalan masuk itu biaya hidup bisa turun. Nah itu yang diinginkan oleh istana,” kata Lenis, pada Kamis.
Presiden sudah menyatakan bahwa pemerintah terbuka untuk berdialog dengan siapa pun menyangkut wilayah Papua, namun Lenis mengingatkan, dialog ini hanya terbatas dalam konteks pembangunan. Padahal, yang lebih dibutuhkan oleh masyarakat Papua, menurut Fadhal Alhamid, Ketua II Dewan Adat Papua, adalah dialog politik.
“Dialog yang saya maksudkan, sedikit banyak bisa sama atau kurang lebih dengan yang dilakukan dengan GAM ya, di Helsinki, bahwa itu kemudian difasilitasi oleh pihak yang netral yang disetujui oleh kedua belah pihak, kemudian ada proses dialog untuk membicarakan hal-hal yang menjadi perbedaan pandangan antara rakyat Papua dan pemerintahan Jakarta. Tetapi, sekali lagi, bahwa dialog itu bukan solusi penyelesaian masalah Papua. Itu jalan untuk menemukan solusi,” kata Fadhal.
Status politik
Lebih jauh lagi, akademisi dari Universitas Cendrawasih, Marinus Yaung, mengutip penelitian LIPI tentang Road Map Papua yang menyebut empat masalah besar yang harus diselesaikan.
Empat masalah besar tersebut termasuk marjinalisasi dan kriminalisasi orang asli Papua, gagalnya pembangunan, pelanggaran HAM yang masih terus terjadi, dan pandangan sejarah serta status politik yang berbeda antara Jakarta dan Papua.
Penelitian menemukan bahwa pemerintahan pusat di Jakarta melihat persoalan Papua sebagai bagian dari NKRI adalah hal yang sudah final dan selesai, sementara Papua melihat status ini masih terus diperdebatkan. Sehingga pembangunan ekonomi, menurut Marius, tak bisa dilihat sebagai jawaban atas kasus pelanggaran HAM atau status politik Papua.
“Jangan kita terjebak pada persepsi politik lama bahwa orang Papua berniat merdeka karena perut mereka belum dipenuhi. Itu keliru sebenarnya. Karena apa ? Yang dibutuhkan orang Papua cuma satu, pelaku pelanggaran HAM berat yang terjadi di tanah ini harus diseret ke pengadilan. Pengadilan sipil kalau bisa, supaya mendapat keadilan hukum di sana”.
“Kalau pelaku pelanggaran HAM sampai kapan pun dilindungi negara, bahkan pelakunya dianggap pahlawan, hati orang Papua tak akan bisa disembuhkan dengan Jokowi membuka keterisolasian daerah pedalaman seperti itu,” kata Marinus.
Selain meninjau berbagai proyek infrastruktur, Presiden Jokowi juga meresmikan Monumen Kapsul Waktu Impian Indonesia dan berkunjung ke Kabupaten Merauke, Wamena, Sorong, dan Raja Ampat.
Sebelum presiden tiba, pekan lalu, sekelompok orang bersenjata menyerang Polsek Sinak, Kabupaten Puncak, Papua, sehingga menewaskan tiga petugas polisi. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com