Utama  

Data Kemiskinan Ekstrem Tak Valid, FISIP UB Usulkan Sensus Penduduk Miskin

Majalahfakta.id – Tim peneliti dari FISIP Universitas Brawijaya (UB) mengusulkan adanya sensus penduduk miskin. Usulan ini diberikan karena data kemiskinan ekstrem yang ada di lapangan berbeda antara data di level desa dan Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS).

Hal ini terungkap saat tim peneliti yang terdiri dari Dr Muhammad Lukman Hakim, HB Habibi Subandi dan Abdul Wahid memaparkan hasil penelitiannya yang merupakan kerjasama dengan pihak Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (Kemendes PDTT), Kamis (30/12/2021).

“Kami melakukan konsolidasi data di 4 Kabupaten di Jatim yaitu Bojonegoro, Probolinggo, Bangkalan dan Lamongan,” ucap Dr Muhammad Lukman Hakim.

Dalam penelitian ini dilakukan konsolidasi data antara data kemiskinan yang ada menurut SK Bupati dan data lapangan yang disetujui oleh kepala desa.

“Jadi tim survei kami turun di masing masing 5 desa di 5 kecamatan. Mereka melakukan konsolidasi data yang disetujui oleh kepala desa,” ungkap Muhammad Lukman Hakim.

Dari data yang ada banyak perbedaan yang muncul. Di Kabupaten Probolinggo, data menurut SK Bupati jumlah kemiskinan ekstrem ada 3672 warga dan berdasarkan hasil konsolidasi data tim peneliti berkurang menjadi 2884 warga. Sebaliknya di tiga kabupaten yang lain ada penambahan jumlah warga dengan kategori kemiskinan ekstrem.

Di Kabupaten Bangkalan berdasarkan SK Bupati jumlah warga dengan kategori kemiskinan ekstrem mencapai 10.617 sementara dari hasil konsolidasi ada penambahan 10.990 warga. Di Kabupaten Lamongan SK Bupati menunjukkan ada 1191 warga dengan kategori kemiskinan ekstrem. Sementara pasca survey ada 1392 warga. Sementara di Kabupaten Bojonegoro berdasarkan SK Bupati ada 7162 warga dengan kategori kemiskinan ekstrem, dan setelah hasil survey ada penambahan 7280 warga.

“Data ini adalah data yang sudah kami konsolidasikan di lapangan. Di Probolinggo misalnya ada 931 data yang dihapus setelah dilakukan verifikasi oleh kepala desa sebab ada yang meninggal dan factor yang lain,” tutur Lukman.

Karena itulah, pria yang juga Ketua Program Studi S3 Sosiologi Universitas Brawijaya ini mendorong Kemendes PDTT melakukan sensus penduduk miskin.

“Sensuk penduduk dilakukan orang per orang, kita akan tahu dan valid datanya berdasarkan kategorisasi yang ada,” imbuh Lukman.

Tak hanya soal sensus pendidik miskin, tim peneliti FISIP UB juga mendorong adanya definisi kemiskinan yang dikeluarkan oleh penduduk miskin, bukan dari akademisi atau Kementerian.

“Kita harus bertanya ke mereka misal di Bojonegoro rumahnya jelek ternyata dia belum miskin sebab di belakang rumahnya ada pohon jati yang banyak,” kata Lukman.

“Sebaliknya di Bangkalan banyak rumah bagus tapi orangnya masuk kategori miskin, itu yang penting dari sensus sehingga kita akan mendapatkan kategorisasi miskin secara jelas karena antar desa dan  wilayah pasti akan berbeda,” sambung pria yang juga dosen Ilmu Pemerintahan UB ini.

Tim peneliti FISIP UB juga menilai kemiskinan ekstrem yang disusun oleh pemerintah daerah belum mengakomodasi ketentuan hukum yang bersumber dari Kemendes PDTT. Sehingga perlu kebijakan khusus tambahan yang didukung instrument sistem Kemendes PDTT hingga struktur terbawah, agar verifikasi serta validasi data (verivali) lebih efektif.

Menurut Lukman Hakim, survei ini juga mengkonfirmasi kebijakan Mendes PDTT terkait pendekatan verivali (verifikasi dan validasi) yang dilakukan dengan pendekatan mikro, yaitu bottom up, berbasis pada kebutuhan dan kondisi faktual masyarakat di bawah, tidak semata kepentingan elit desa.

“Tentu hal ini perlu disokong kebijakan yang kuat dan sinkron dengan instrumen penyusunan data yang telah ada,” tegasnya. (mud/hms)