Utama  

Akan Bor Sumur Baru, Lapindo Diminta Kedepankan Nurani

Lokasi pengeboran sumur gas baru Lapindo Brantas terletak sekitar 2 km dari lokasi bencana lumpur Lapindo 2006
Lokasi pengeboran sumur gas baru Lapindo Brantas terletak sekitar 2 km dari lokasi bencana lumpur Lapindo 2006

RENCANA pengeboran sumur gas baru oleh perusahaan Lapindo Brantas di sebuah desa di Kabupaten Sidoarjo, Jawa Timur, yang berjarak sekitar dua kilometer dari pusat bencana semburan lumpur, harus mengedepankan pengetahuan teknis, akurasi dan nurani.
Hal ini ditekankan staf pengajar teknik geologi Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Agus Hendratno agar Lapindo tidak melakukan kesalahan kedua kalinya yang mengakibatkan timbulnya bencana lumpur sembilan tahun silam.
“Yang mengedepankan pengetahuan teknis, akurasi dan juga berharap dengan nurani,” kata Agus Hendratno kepada wartawan BBC Indonesia, Heyder Affan, Kamis (07/01) sore.
Dia mengharapkan pula agar Lapindo Brantas dan pemerintah dapat belajar dari bencana tersebut.
“Kalau keledai saja pernah jatuh dan tidak mau jatuh lagi, jangan sampai kita jatuh kedua kalinya. Pengusaha dan pemerintah harus berada di track yang bagus,” kata Agus.
Tentang masih adanya penolakan sebagian warga Desa Kedungbanteng dan Desa Banjar Asri terhadap rencana pengeboran sumur baru tersebut, Agus meminta Lapindo dan pemerintah setempat melibatkan mereka.
“Masyarakat harus diberi keyakinan dan ada jaminan apa seandainya terjadinya teknologi error (kesalahan),” katanya.
‘Kendala sosial’
Hari Rabu (06/01), Lapindo Brantas mulai melakukan persiapan pengeboran sumur gas baru di lahan seluas sekitar satu hektare di Desa Kedungbanteng, Sidoarjo.
Persiapan ini melibatkan penjagaan sekitar 500 polisi dan tentara untuk mengantisipasi kemungkinan penolakan sebagian warga setempat.
Kepala humas Lapindo Brantas, Arief Setya Widodo, mengatakan, saat ini pihaknya masih melakukan tahap pengurukan atau drill site preparation (DSP), sebelum nantinya pada awal Maret 2016 akan dilakukan aktivitas pengeboran.
Proyek yang letaknya 2,5 kilometer dari pusat semburan gas dan lumpur Porong itu, memakan lahan seluas 4000 meter persegi, dengan lahan yang sudah dibebaskan seluas satu hektar.
Menurut Arief, proyek pengeboran ini -yang sudah mendapatkan izin dari SKK Migas dan pemerintah Kabupaten Sidoarjo- hanya perluasan lahan dari sumur-sumur yang sudah ada sejak tahun 2001.
“Sejak tahun 2012 kami telah melewati proses kajian geologis, serta pada tahun 2014 sudah mendapat izin Upaya Kelola Lingkungan (UKL) dan Upaya Pemantauan Lingkungan (UPL) dari Badan Lingkungan Hidup (BLH) Sidoarjo”, kata Arief kepada wartawan di Surabaya, Ronny.
Arief mengaku proyek pengeboran ini masih terbentur “kendala sosial” yaitu adanya penolakan sebagian warga desa Banjarasri yang wilayahnya menjadi akses ke lokasi.
Sementara untuk Desa Kedungbanteng, Arief mengklaim 90% warga sudah menyetujui.
“Indikasinya adalah diterimanya kompensasi kepada warga berupa paket sembako yang disalurkan oleh perangkat desa setempat”, katanya.
SKK Migas: Insya Allah relatif aman
Pemerintah pusat sendiri, melalui Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi (SKK Migas) telah mengizinkan pengeboran itu dan meyakini kecil kemungkinan terjadinya kebocoran.
“Kejadian yang bisa menimpa seperti lumpur Lapindo itu sangat kecil terjadi,” kata kepala humas SKK Migas, Elan Biantoro kepada BBC Indonesia, Kamis (07/01).
Alasannya, kedalaman sumur di Desa Kedungbanteng sekitar 1.000 meter berbeda dengan kedalaman sumur lumpur Lapindo antara 1.500 dan 2.500 meter.
“Jadi, kita tidak akan sampai masuk ke zona lumpur yang kedalamannya 1.500 sampai 2.500 meter. Sehingga dengan demikian, kita sudah bisa memprediksi zona yang akan kita penetrasi untuk pengeboran itu Insya Allah relatif aman, tidak ada kejadian seperti lumpur Lapindo,” jelas Elan.
Menurutnya, pihaknya dan Lapindo sudah mengkaji aspek geologi dan geofisika di lokasi rencana pengeboran.
“Dari puluhan sumur yang sudah dibor, dan salah-satunya yang dibor itu yang mengakibatkan lumpur Lapindo. Nah, puluhan lainnya tidak pernah ada masalah,” akunya.
Ditanya apakah Lapindo Brantas harus bertanggung jawab apabila terjadi kesalahan teknis, Elan Biantoro mengatakan, “Berdasarkan kontrak (antara pemerintah dan Lapindo), risiko operasional ada pada operator (Lapindo Brantas) karena mereka yang mengoperasikan.”
Sebagian warga menolak
Rencana pengeboran sumur gas oleh Lapindo Brantas ini memang masih menuai pro dan kontra dari warga dua desa tersebut.
Menurut pengakuan pemuda desa setempat, Miftah (bukan nama sebenarnya), warga yang menolak masih trauma dengan peristiwa Lumpur Porong di tahun 2006.
“Apalagi Tanggulangin ini dekat dengan Porong, jelaslah kami khawatir dengan dampaknya,” tukas Miftah.
Tapi berbeda dengan Miftah, Heri (juga bukan nama sebenarnya), mengatakan, kompensasi paket sembako kepada 81 kepala keluarga di wilayah RT-nya sudah diberikan secara merata.
Ini artinya, aktivitas DSP oleh Lapindo Brantas di Kedungbanteng untuk sementara disetujui warga.
“Tapi lain soal kalau proses pengeboran sudah dimulai, tentu Lapindo harus musyawarah lagi dengan warga”, ujar Heri.
Berdasarkan pantauan BBC Indonesia, meskipun ada pro dan kontra diantara warga, suasana tenang masih terasa di Desa Kedungbanteng dan Banjarasri, pada Rabu (06/01) malam.
Menjangkau kedua desa itu juga tergolong cukup mudah, karena akses jalan beraspal yang lumayan halus. Jaraknya kurang lebih lima kilometer ke arah timur dari Pasar Tanggulangin, yang berada pada jalur utama Sidoarjo menuju Pasuruan.
Namun, jalanan yang berdebu cukup pekat akan ditemui saat memasuki wilayah Kedungbanteng dan Banjarasri.
Sementara lokasi Plant Tanggulangin 1 Lapindo Brantas yang relatif dekat dengan persawahan dan permukiman warga, hanya berjarak 500 meter ke Selatan dari gapura batas kedua desa, dan masih dipatroli oleh dua personel kepolisian. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com