
PEMBELIAN komputer bernilai sekitar Rp 3 milyar untuk mensukseskan program UNBK (Ujian Nasional Berbasis Komputer) di Kabupaten Blitar, Provinsi Jawa Timur, disorot oleh PETIR – Perkumpulan Anti Korupsi Blitar, karena dalam prakteknya terungkap adanya indikasi rekayasa yang bisa menjurus pada tindak pidana korupsi.
“Pembelian komputer pada tahun 2018 itu sebenarnya melalui proses pengadaan dengan pembelian melalui e-katalog via Axiqoe.com. Sepintas dengan pembelian melalui e-katalog maka tidak ada dugaan rekayasa dan korupsi dalam pengadaan tersebut,” kata Hasan, Ketua Petir.
Akan tetapi, dalam proses selanjutnya, ternyata ada indikasi yang menjurus pada pelanggaran hukum. Di mana dalam pembelian melalui e-katalog itu yang di-klik atau dibeli adalah merk dan type komputer tertentu, akan tetapi dalam kontrak dan komputer yang dikirim ke sekolah-sekolah ternyata adalah merk dan type yang berbeda dengan apa yang di-klik melalui proses e-katalog tersebut.
“Jika proses pengadaan melalui e-katalog tentunya kontrak dan barang yang dikirim seharusnya sama dengan apa yang diklik dalam proses pembelian melalui e-katalog atau online shop yang ada pada LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah). Jika kontrak dan barang yang dikirim itu dirobah-robah dan tidak sama dengan apa yang di-klik pada e-katalog LKPP, ini sama saja dengan proses pengadaan dengan cara penunjukan langsung,” ujarnya.
“Apa boleh pembelian barang memakai dana pemerintah bernilai Rp 3 milyar melalui proses penunjukan langsung ? Sehingga terkesan dalam pembelian komputer ini ada upaya mengelabui LKPP dan aparat negara lainnya, di mana seolah-olah sudah melalui proses yang benar yakni belanja melalui e-katalog, dan atau menghindari pembelian melalui proses lelang pengadaan, akan tetapi yang terjadi sebenarnya adalah pembelian melalui proses penunjukan langsung,” tutur Hasan.
Dan, berdasarkan laporan dari sekolah-sekolah, Petir malah menemukan hal lain yang cukup mengejutkan, di mana komputer yang dikirim diduga bukan merupakan komputer baru, melainkan ada indikasi bahwa komputer-komputer itu adalah barang re-kondisi. Yakni, barang bukan baru yang diservis dan atau direkondisi agar tampak sebagai barang baru.
Hal ini bisa dilihat di antaranya bahwa packing kardus komputer itu ditempeli kertas HVS yang dicetak identitas bahwa komputer itu adalah komputer merk Acer Type Veriton 2648 beserta keterangan spesifikasinya. Tempelan kertas HVS itu dipakai untuk menutupi identitas merk dan type komputer sebenarnya yang tertulis dalam kardus packing. “Kan aneh, karena jika itu komputer baru, tentunya packing kardusnya juga baru. Misalnya saja kita beli komputer baru merk dan type A, tapi kita diberi komputer yang dipacking pakai kardus komputer merk dan type B dan atau malah dipacking pakai kardus teve lalu identitas pada kardus itu ditutupi dengan tempelan-tempelan kertas HVS yang dicetak yang menyebutkan bahwa isi dalam kardus itu adalah komputer merk dan type A. Apakah kita yakin bahwa komputer itu benar-benar komputer merk dan type A yang baru ?” terang Hasan.
Kejanggalan lainnya, menurut Petir, adalah memori komputer yang dikirim ke sekolah-sekolah itu tidak sama, ada yang memorinya 1 Giga, ada yang 2 Giga, ada yang 4 Giga dan lain lain. Padahal spesifikasi dalam kontrak pengadaan ratusan unit komputer itu spesifikasinya adalah sama. Tapi kok bisa komputer yang dikirim itu barang campur-campur ?
Untuk itu Hasan berharap agar aparat hukum dapat mengusut kasus ini secara tuntas, agar upaya memanipulasi ketentuan pengadaan oleh LKPP yang bertujuan mengurangi tindak pidana korupsi itu tidak lagi menjadi modus, karena modus memanipulasi untuk mengelabui aparat hukum seperti ini sekarang cukup marak.
Sementara itu Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Blitar, Budi Kusumarjoko, ketika dihubungi ponselnya belum memberikan tanggapan. (Rilis)