Semua  

Putusan Sidang Rakyat Kasus 1965 Jadi ‘Dokumen Lobi’

IPT 1965 dibentuk antara lain oleh sejumlah aktivis, akademisi dan kelompok penyintas
IPT 1965 dibentuk antara lain oleh sejumlah aktivis, akademisi dan kelompok penyintas

PUTUSAN sela Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) tentang peristiwa tahun 1965, yang berisi pengakuan atas terjadinya pelanggaran hak asasi manusia berat, direncanakan akan dijadikan dokumen untuk melobi masyarakat internasional meski putusan itu tak mempunyai kekuatan hukum.

Koordinator penyelenggara sidang rakyat yang digelar selama empat hari dan berakhir Jumat (13/11), Nursyahbani Katjasungkana, mengatakan sidang tersebut baru langkah pertama.

“Kita akan menggunakan putusan IPT 1965 sebagai dokumen lobi kepada organisasi-organisasi internasional baik LSM maupun PBB jika dalam enam bulan ke depan atau maksimum satu tahun pemerintah Indonesia tidak melakukan kewajibannya menurut hukum nasional maupun internasional,” katanya di Den Haag.

Karena putusan majelis hakim baru keputusan awal, maka penyelenggara akan melakukan persiapan untuk menggelar sidang putusan akhir. Sidang itu direncanakan akan digelar tahun depan di Jenewa.

Proses penyembuhan

Nursyahbani Katjasungkana menuturkan sidang IPT 1965 baru langkah awal
Nursyahbani Katjasungkana menuturkan sidang IPT 1965 baru langkah awal

Langkah-langkah ini mendesak dilakukan, apalagi para penyintas sudah makin lanjut usia.

“Pengungkapan kebenaran dan pelurusan sejarah agar generasi muda mendapatkan sejarah negaranya yang jujur tetapi juga semacam penyembuhan bagi korban karena setidaknya organisasi HAM internasional atau masyarakat internasional secara umum mengakui adanya kejahatan HAM berat yang dialami para korban dan wakil-wakilnya,” jelas Nursyahbani.

Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia RI, Dianto Bachriadi, setuju bila sidang rakyat ini perlu dilakukan meskipun hasilnya tidak mempunyai kekuatan hukum.

“Yang sudah diraih oleh IPT ini adalah satu upaya untuk mengungkapkan kebenaran dan ada ruang untuk para korban dan juga saksi-saksi yang lain untuk menyampaikan apa yang mereka ketahui, apa yang mereka rasakan, apa yang mereka alami, apa yang mereka derita, apa yang mampu mereka analisis dari peristiwa 65 itu. Dan ini memang sepihak, tapi ruang itu kan harus mulai dibuka.”

Ia merujuk pada saksi-saksi yang hadir adalah mereka yang dihadirkan oleh jaksa dan tidak ada satu pun saksi yang mewakili pemerintah Indonesia atau negara Indonesia. Hakim menyayangkan ketidakhadiran mereka dalam sidang, walaupun mereka diundang.

Manfaat bagi Komnas HAM

Kesimpulan IPT 1965 selaras dengan laporan Komnas HAM, kata Dianto Bachriadi
Kesimpulan IPT 1965 selaras dengan laporan Komnas HAM, kata Dianto Bachriadi

Bukti-bukti dan kesaksian yang diajukan ke Pengadilan Rakyat Internasional 1965 sebenarnya tidak terlalu baru. Sebagian pun sudah dimuat dalam laporan investigasi Komnas HAM pada 2012 dan sudah diserahkan ke Kejaksaan Agung RI.

Tetapi, menurut Dianto Bachriadi, lembaganya tetap bisa mengambil manfaat dari hasil sidang IPT 1965, terutama karena investigasinya belum sampai pada dugaan kekerasan seksual sebagaimana dibeberkan oleh seorang penyintas dari Yogyakarta. Selain itu, kesimpulan-kesimpulan IPT memperkuat hasil penyelidikan Komnas HAM RI.

“Komnas bisa mendapat satu penguatan baru untuk kita melanjutkan upaya untuk menagih kepada pemerintah, khususnya Kejaksaan Agung agar dilanjutkan dengan penyidikan,” terangnya kepada wartawan BBC Indonesia, Rohmatin Bonasir di Den Haag.

Menko Polhukam, Luhut Padjaitan, sebelumnya menegaskan tidak ada orang yang mungkin bisa diadili dalam kasus dugaan kekejaman pasca peristiwa 30 September itu.

“Sudah pada mati (orang) yang (mau) diadili. Yang PKI ada (yang) dibunuh, yang jenderal juga ada (yang) dibunuh. Jadi sekarang siapa yang mau diadili ?”

Guru besar emeritus bidang hukum internasional, Ko Swan Sik, juga mengatakan sukar membawa kasus tersebut ke peradilan formal karena kendala terdakwa dan pembuktian. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com