SETELAH melewati penyelidikan yang cukup lama, akhirnya kasus dugaan pelanggaran pemanfaatan lahan di Taman Hutan Raya (Tahura) Ngurah Rai yang menyeret Direktur PT Anugrah Sarana Propertindo, Budiman Tiang (39), sampai juga di Pengadilan Negeri (PN) Denpasar. Pria asal Desa Kamar Kuala, Kecamatan Penjaringan, Kotamadya Jakarta Utara, ini baru menjalani sidang perdananya tanpa didampingi penasehat hukum.
Jaksa Penuntut Umum (JPU) I Dewa Gede Ngurah Sastradi di hadapan majelis hakim yang diketuai I Gusti Ngurah Putra Atmaja, mendakwa terdakwa Budiman dengan dakwaan alternatif. Pasal 40 ayat (2) juncto pasal 33 ayat (3) UU RI No. 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati Dan Ekosistemnya, dan pasal 94 ayat (1) juncto pasal 19 huruf a UU RI No. 18 Tahun 2013 Tentang Pencegahan Dan Pemberantasan Perusakan Hutan (P3H).
“Terdakwa dengan sengaja melakukan pelanggaran dengan melakukan kegiatan yang tidak sesuai dengan fungsi zona pemanfaatan dan zona lain dari taman nasional, taman hutan raya, dan taman wisata alam sebagaimana dimaksud pasal 33 ayat (3),” kata jaksa dari Kejaksaan Negeri (Kejari) Badung ini.
Diuraikan, bergulirnya kasus ini ke meja hijau berawal ketika terdakwa membangun rumah toko (ruko) 23 unit lantai 3 pada tanggal 25 Agustus 2014 di atas tanah bersertifikat Hak Guna Bangunan (HGB) No. 7004 Kelurahan Benoa, Kecamatan Kuta Selatan, Kabupaten Badung, seluas 3.460 m2 atas nama PT Anugrah Sarana Propertindo. Setelah dilakukan pemeriksaan oleh pihak Unit Pelaksana Teknis (UPT), ditemukan sebagian bangunan rukonya masuk kawasan Tahura Prapat Benoa-Suwung (RK.10) antara Pal Batas B.181 sampai Pal Batas B.182, simpang empat Siligita di Jalan By Pass Ngurah Rai, Lingkungan Bualu, Benoa, Kuta Selatan, Badung. Atas temuan itu, pihak UPT kemudian memberi surat peringatan kepada terdakwa sebanyak tiga kali, namun tidak ada tanggapan dari terdakwa.
Selanjutnya, tim dari Satgas Polhut UPT Tahura Ngurah Rai dari Balai Pemantapan Kawasan Hutan (BPKH) Wilayah VIII melakukan pengukuran parsial pada 2 Oktober 2015 guna memastikan letak terjadinya pelanggaran. Begitu ditemukan letak pelanggarannya, pihak UPT kembali melayangkan surat peringatan yang kemudian direspon oleh terdakwa dengan mengirim perwakilan atas nama Hendra Tjahjadi guna menandatangani surat pernyataan yang isinya akan melakukan pembongkaran 2 unit ruko. Pembongkaran itu dilaksanakan pada 29 Oktober 2019 dan langsung dibuatkan berita acara.
Singkat cerita, pada 19 Oktober 2016 tim dari Polda Bali dan Bareskrim Mabes Porli, bersama Dinas Kehutanan, Staf BPKH Wilayah VIII Denpasar, kembali melakukan pengukuran dan hasilnya ditemukan pelanggaran. Lalu pada 18 Januari 2018 tim dari BPN Badung dan BPKH Wilayah VIII Denpasar kembali melakukan pengukuran untuk menentukan luasan pelanggaran pembangunan ruko tersebut.
“Bangunan yang berdiri di luar sertifikat atas nama PT Anugrah Sarana Propertindo yakni seluas 9,1 are dengan rincian masuk ke dalam tanah kosong milik negara 5,47 are dan kawasan Tahura 3,63 are,” ungkap Jaksa Sastradi. (rie)