
MAFIA tanah di Kota Makassar diduga sangat lihai memanfaatkan atau memperalat aparat kepolisian dan lainnya untuk menyerobot atau menguasai lokasi dengan menggunakan alat berat. Seperti yang dialami M Subir Thalib pada 15 Oktober 2018 lokasi tanahnya dimasuki secara paksa oleh pihak lain dengan menggunakan alat berat. Padahal tanah tersebut sudah ada ikatan jual belinya dengan ahli waris yang terdaftar atas nama Patong Bin Tjella, Persil 46 D II, Kohir 39 C I, terletak di Kelurahan Pai, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar.
Padahal sebelumnya M Subir Thalib sudah menyurat ke Kepala Kelurahan Pai, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar, 8 Oktober 2018, dengan tembusan kepada Kapolda Sulawesi Selatan di Makassar, Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Makassar di Makassar, Kepala Kantor Kecamatan Biringkanaya di Makassar, Tim Pengacara Subir dan Notaris Dr Hj Zaenab SH MH di Makassar. Perihal suratnya itu permohonan pencegahan segala bentuk pengurusan dan aktifitas di atas tanah milik Subir Thalib yang terdaftar atas nama Patong Bin Tjella, Persil 46 D II, Kohir 39 C I, di Makassar.
Subir Thalib kepada FAKTA mengakui bahwa kesepakatan penyelesaian pembayaran atas tanah tersebut memang belum dilunasi dengan alasan antara lain tanah itu belum dapat diterbitkan sertifikat karena di atasnya terdapat beberapa masalah. Karena sudah terlanjur dibuat Ikatan Akta Jual Beli maka Subir Thalib sebagai pembeli tanah punya itikat baik untuk menyelesaikan masalah yang ada di atas tanah itu dan ketika sudah bersih dari masalah maka Subir Thalib akan melunasi sisa pembayarannya sesuai dengan perjanjian ahli waris. Sedangkan waktu itu ahli waris mendesak Subir Thalib untuk membeli tanah itu karena penjual sangat membutuhkan uang tersebut untuk berobat dan saat itu anak ahli waris masih di bawah umur.
Masih menurut Subir Thalib, selama ini pihak ahli waris tidak menunjukkan itikad baik, karena tidak kooperatif untuk menyelesaikan masalah tersebut. Bahkan beberapa kali pihak ahli waris berusaha menjual kembali tanah tersebut dibantu oleh pihak-pihak tertentu. Lebih parah lagi setelah orangtua ahli waris meninggal dunia pada tahun 2009 (Almarhumah Naisa).
Pada tahun 2014, Subir Thalib berusaha kembali untuk menjalin hubungan baik dengan ahli waris melalui notaris ahli waris untuk membuat kesepakatan. Akan tetapi para ahli waris malah menghindar.
Pada bulan Juli 2015, ahli waris berencana melakukan pengukuran bersama dengan pihak BPN Kota Makassar tanpa sepengetahuan Subir Thalib. Namun gagal dilaksanakan pengukuran karena ahli waris salah tunjuk lokasi, sehingga terjadi perkelahian. Karena Syamsu (suami Syerina) menurunkan papan pemilik tanah.
Pada bulan November 2016, ahli waris kembali berupaya untuk membatalkan Akta Jual Beli dengan cara mengajukan gugatan perdata di Pengadilan Negeri (PN) Makassar. Bahkan pihak tergugat tidak pernah mendapat relas panggilan untuk mediasi dari PN Makassar hingga habis waktu mediasinya dan dilanjutkan dengan sidang perdana dengan agenda membacakan gugatan. Saat penasehat hukum ahli waris sedang membacakan gugatan tiba-tiba melihat salah satu dari tim penasehat hukum M Subir Thalib yang berada dalam ruang sidang yang sama menunggu waktu sidang perkara lain, langsung gugup sampai selesai persidangan. Tim penasehat hukum M Subir Thalib langsung mendaftarkan surat kuasa dan mengikuti sidang berikutnya tanpa mengikuti sidang mediasi. Pada akhirnya pengacara ahli waris menarik gugatannya pada minggu ke-4 bulan November 2016.
Pada bulan Agustus 2018, ada informasi yang sampai kepada M Subir Thalib bahwa Syamsu (suami Syerina, anak ahli waris Almarhumah Naisa) berencana melakukan pemagaran di lokasi tanah bagian belakang yang sedang dalam pengurusan Surat Ukur seluas ± 28.488 m2 (Dua Puluh Delapan Ribu Empat Ratus Delapan Puluh Delapan Meter Persegi).
Kata Subir Thalib, perlu dibuktikan lebih dulu alas hak Syerina dan dilakukan pembanding dengan surat yang dimiliki M Subir Thalib sebagai pemegang Akta Ikatan Jual Beli No. 2 Tanggal 8 September 2003, bukti pembayaran PBB Tahun 2002 dan Tahun 2013, bukti-bukti kepemilikan lainnya yaitu Rincik Tanggal 24 September 1998, Riwayat Tanah Tanggal 3 Oktober 1984, Keterangan Obyek Untuk Ketetapan IPDA PEDESAAN Tahun 1985, Surat Ukur No. 483/Tahun 2014, bukti-bukti pembayaran dari bulan September 2003 sampai dengan 2008, surat permohonan pengembalian batas untuk Surat Ukur seluas ± 28.488 m2 No. 01407/2004, Salinan Putusan Penetapan PN Makassar Tanggal 21 Desember 2016.
Jadi, sebelum terjadinya aksi penyerobotan tanah itu, M Subir Thalib sudah mengirim surat pertama yang ditujukan kepada Kapolda Sulsel di Makassar, Kepala Kantor BPN Kota Makassar, Kepala Kantor Kecamatan Biringkanaya, Tim Pengacaranya di Makassar, Notaris Dr Hj Zaenab SH MH di Makassar. Namun menantu dari ahli waris tetap melakukan pelanggaran hukum sehingga Subir melayangkan lagi surat yang kedua tanggal 16 Oktober 2018 kepada Kapolda Sulsel, Dir Intel Polda Sulsel, Dir Reskrimum Polda Sulsel di Makassar dengan perihal pencegahan eksekusi tanah miliknya yang tercatat atas nama Patong Bin Tjella, Persil No. 46 D II, Kohir No. 39 C I.
Surat kedua yang dikirim Subir itu sehubungan dengan adanya informasi bahwa anak dan menantu ahli waris melakukan eksekusi terhadap tanah miliknya tetapi tidak ada hakim dari pengadilan yang turun ke lokasi tanah itu sehingga bisa dikategorikan pengrusakan/penyerobotan tanah tersebut. Sebab, arti dari eksekusi itu harus ada hakim dari PN Makassar untuk membacakan isi penetapan eksekusi, bukan dari polisi atau petugas lainnya. Kehadiran polisi di lokasi eksekusi hanya untuk keamanan dan tidak memihak kepada salah satunya. Sehingga anak ahli waris dan menantunya itu bisa dikategorikan melakukan penyerobotan tanah orang lain. Meskipun saat itu mereka membawa aparat kepolisian yang turut menyaksikan perbuatan mereka yang dibantu orang-orang bayaran, bukan berarti mereka sudah bisa memiliki tanah tersebut.
Adapun isi suratnya yang kedua itu menyebutkan bahwa tanah tersebut diperolehnya dari transaksi Ikatan Jual Beli melalui Notaris Kartini SH dengan Akta No. 2 tertanggal 8 September 2003 antara Subir dan ahli waris Patong Bin Tjella. Tanah tersebut seluas ± 130.000 m2 (seratus tiga puluh ribu meter persegi), terletak di Jalan Perintis Kemerdekaan Km 17, Kelurahan Pai, Kecamatan Biringkanaya, Kota Makassar. Pada waktu terjadi transaksi jual beli itu anak ahli waris belum cukup umur sehingga dilakukan di notaris.
Tanggal 20 Agustus 2015 para ahli waris Patong Bin Tjella secara diam-diam mengajukan gugatan ke PN Makassar dengan perkara No. 240/Pdt.G/2015/PN.MKS sehingga M Subir Thalib tidak pernah mendapat relas panggilan sidang dari PN Makassar. Dalam putusan tanggal 1 Februari 2016 dinyatakan bahwa tergugat (M Subir Thalib) yang telah dipanggil dengan patut untuk menghadiri persidangan tidak hadir. Menyatakan gugatan penggugat tidak dapat diterima.
Tanggal 24 Agustus 2016 ahli waris Patong Bin Tjella kembali mengajukan gugatan ke PN Makassar dengan perkara No. 284/Pdt.G/2016/PN MKS dan putusannya tertanggal 21 Desember 2016 berbunyi : Menerima pencabutan gugatan oleh penggugat. Menyatakan pemeriksaan perkara No. 284/Pdt.G/2016/PN MKS selesai karena dicabut.
Bulan September 2018 M Subir Thalib mendapat informasi bahwa ahli waris/kuasa ahli waris Patong Bin Tjella dibantu oleh pihak-pihak tertentu berusaha menguasai tanah miliknya dengan melakukan pemagaran di lokasi. “Bahkan kami mendapat informasi bahwa ahli waris/kuasa ahli waris Patong Bin Tjella sudah sepakat dengan calon pembeli baru. Hal tersebut membuktikan bahwa ahli waris/kuasa ahli waris sudah nekat dan berusaha mengingkari Akta Pengikatan Jual Beli No. 2 pada tanggal 8 September 2018. Dengan berbagai upaya, mereka melakukan perbuatan melanggar hukum”.
Tanggal 3 September 2018 M Subir Thalib mencoba melakukan pendekatan kepada ahli waris melalui notarisnya atas nama Dr Hj Sitti Zaenab Djaffar SH MKn. “Untuk sementara kami mengusulkan format perdamaian yang bersifat lisan yang bertujuan agar ahli waris/kuasa ahli waris tidak melakukan pelanggaran hukum di kemudian hari. Akan tetapi ahli waris Patong Bin Tjella/kuasanya semakin jauh melakukan pelanggaran hukum dengan melakukan pemagaran lokasi tanpa sepengetahuan kami yang selanjutnya akan melakukan penguasaan fisik (eksekusi),” ujar Subir.
Ahli waris dan kuasa ahli waris Patong Bin Tjella diduga bekerja sama dengan pihak-pihak tertentu untuk melakukan eksekusi terhadap tanah tersebut karena amar putusan perdata PN Makassar No. 240/Pdt.G/2015/PN MKS tanggal 1 Februari 2016 menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima dan amar putusan perdata PN Makassar No. 284 tanggal 21 Desember 2016 menyatakan bahwa penggugat mencabut sendiri gugatannya. “Itu berarti jika terjadi eksekusi maka ahli waris/kuasa ahli waris telah melakukan perbuatan melawan hukum. Atau, kuasa ahli waris tidak tahu pengertian dari amar putusan pengadilan. Kalau dia tahu maka dia tidak akan ikut terlibat. Tapi karena dia ikut mendukung atau terlibat berarti dia ikut melanggar hukum”. (F.546)