SEKITAR 8.000 warga Kristen di Kabupaten Aceh Singkil sudah mengungsi menyusul kerusuhan yang menyebabkan terbakarnya tiga gereja di kabupaten tersebut pada Selasa (13/10).
Pendeta Gereja Protestan Pakpak Dairi di Kabupaten Aceh Singkil, Erde Berutu, pada BBC Indonesia mengatakan, konsentrasi pengungsi terbesar ada di Desa Seragih, Kecamatan Manduamas, di Tapanuli Tengah, Sumatera Utara, yang menampung sekitar 6.000 orang.
Sisanya di Desa Sibagindar, Kecamatan Pagindar, Pakpak Bharat, Sumatera Utara.
Warga, menurutnya, baru akan kembali dari pengungsian setelah pemerintah memberi jaminan bahwa mereka bisa beribadah di gereja seperti biasa. Erde mengatakan, ini bukan pertama kalinya warga mengalami peristiwa serupa, tapi juga pernah terjadi pada 1979, 2001, dan 2012.
Aksi bentrokan yang terjadi kali ini menyebabkan satu orang tewas, dan empat orang luka-luka.
“Situasi di lapangan, tidak ada gejolak lagi, tapi mereka masih ketakutan karena tidak ada kejelasan keamanan dari perlindungan yang diberikan oleh negara. Mereka (pemerintah) mengatakan aman, aman, tapi bagi jemaat kami, aman itu artinya ada kepastian. Aman bukan secara fisik, tapi nyaman ibadah kami boleh berlangsung di sana, dan gereja kami boleh beribadah di sana,” kata Erde Berutu.
Faktor ekonomi ?
Pada Rabu (14/10), Kapolri, Badrodin Haiti, mengunjungi Aceh Singkil dan mengadakan pertemuan dengan Kapolres, Kapolda, Bupati Aceh Singkil, dan pemuka agama setempat.
Sebelumnya, di Jakarta, kepada wartawan dia mengatakan sudah mengamankan 20 orang terkait aksi pembakaran gereja untuk diselidiki lebih lanjut.
Secara terpisah, Wakil Presiden Jusuf Kalla mengatakan insiden di Singkil Aceh terjadi karena “ada kesalahpahaman”.
“Jadi mudah-mudahan bisa diselesaikan oleh pejabat di situ,” kata Jusuf Kalla kepada wartawan di Jakarta, Selasa (13/10).
Sementara itu, Wakil Ketua Setara Institute, Bonar Tigor Naipospos, mengatakan ada banyak faktor, bukan hanya intoleransi yang menjadi penyebab terjadinya bentrokan dan pembakaran gereja di Aceh Singkil.
Secara historis, menurut Bonar, kawasan Aceh Singkil yang berada di daerah perbatasan Aceh dan Sumatera Utara adalah daerah perkebunan yang menarik banyak pendatang untuk bekerja di sana.
Jumlah pendatangnya yang beragama Kristen sekitar 14 ribu.
Hal ini menurutnya menimbulkan persaingan ekonomi antara suku Pakpak dan suku Singkil.
‘Sejak era Orde Baru’
Setelah pembakaran gereja di kabupaten tersebut pada 1979 dan 2001, para pemuka agama Kristen diminta menandatangani pembatasan rumah ibadah sebanyak satu gereja dan empat undung-undung alias rumah ibadah kecil.
Namun, dengan jumlah warga Kristen yang terus bertambah, maka gereja tak mampu lagi menampung jumlah jemaat.
“Singkil konfliknya bukan baru belakangan ini, tapi sejak zaman Orde Baru,” kata Bonar.
Maka, menurut Bonar, persoalan ini tidak bisa semata-mata dilihat sebagai persoalan intoleransi atau keberadaan kelompok-kelompok radikal.
“Tetapi ada persaingan kelompok suku, persaingan ekonomi, dan manajemen pemerintahan setempat yang abai dan lemah, keperluan dari pemerintah setempat untuk mendapat dukungan dari pemerintah mayoritas, ini justru jadi faktor-faktor yang lebih signifikan,” katanya. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com