INTERNATIONAL People’s Tribunal atau pengadilan rakyat terhadap kejahatan kemanusiaan di Indonesia pada 1965 mulai digelar di Den Haag, Belanda, Selasa (10/11) hingga Jumat (13/11). Pengadilan itu digelar untuk membuktikan terjadinya ‘genosida selama periode 1965 hingga 1966’ yang selama ini tidak pernah diakui negara. Seperti dipaparkan Reza Muharam selaku anggota panitia pengadilan tersebut, persidangan akan diikuti tujuh hakim berlatar kalangan akademisi, pegiat hak asasi manusia, dan praktisi hukum, termasuk mantan hakim mahkamah kriminal internasional untuk Yugoslavia. Mereka akan menguji alat bukti yang memuat keterangan 16 saksi peristiwa 1965 sekaligus data-data yang disusun sejumlah peneliti Indonesia maupun mancanegara. Terdapat sembilan dakwaan yang akan diuji panel hakim dalam sidang tersebut. Beberapa di antaranya terkait pembunuhan masal, penghilangan paksa, penyiksaan, dan kekerasan seksual pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965. Meski demikian, Reza mengatakan pengadilan itu tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat. “Yang digugat adalah tanggung jawab negara, tidak ada gugatan terhadap individu maupun organisasi tertentu. Sebagai pengadilan rakyat, kami tidak punya yurisdiksi untuk menghukum siapa pun,” kata Reza.
‘Tekanan’ ke Jokowi
Dia menambahkan bahwa hasil pengadilan ini berupa tekanan kepada pemerintahan Presiden Joko Widodo agar menyelesaikan kasus 1965. Soal ketiadaan kekuatan hukum yang mengikat dari pengadilan rakyat terhadap kejahatan kemanusiaan di Indonesia mendapat sorotan dari pemerintah. Juru bicara Kementerian Luar Negeri, Arrmanatha Nasir, mengatakan pengadilan itu merupakan kebebasan berpendapat, bukan bagian dari proses pengadilan internasional. “Sudah ada beberapa langkah yang ditempuh pemerintahan sekarang dan pemerintahan sebelumnya terkait dengan rekonsiliasi,” kata Arrmanatha.
Kritik terhadap pengadilan rakyat terhadap kejahatan kemanusiaan 1965 disuarakan pegiat HAM, Harry Wibowo. Menurutnya, arah pengadilan rakyat yang menuntut pertanggungjawaban negara tergolong keliru. Pasalnya, pengadilan rakyat tersebut menggunakan kerangka hukum pidana internasional, dalam hal ini pada Konvensi Genosida (1948) dan Statuta Roma (2000) yang mengharamkan serangan sistematis terhadap warga sipil.
“Lazimnya dakwaan kriminal baik kejahatan nasional maupun internasional mengarah ke individu. Namun, dakwaan yang mereka ajukan adalah tanggung jawab negara. Buat saya agak kabur dan abstrak,” ujar Harry. Dia mengatakan sejumlah insiden pembunuhan masal, pengucilan, kerja paksa dalam kurun 1965-1966 seharusnya dapat dikerucutkan pada pelaku secara spesifik. “Hal-hal seperti ini kan harusnya jelas. Siapa yang bertindak, atas dasar komando siapa, mata rantai komandonya bagaimana, pasti ada surat keputusan,” katanya.
Tidak penuh harap
Bagaimanapun, di balik hiruk-pikuk upaya untuk membuktikan bahwa terjadi genosida pada 1965-1966, keluarga korban tidak menyambut dengan antusiasme. Salah satunya, Handoyo Triatmoko, yang ayahnya dijemput paksa oleh sekelompok tentara pada 1965 dan tidak pernah kembali. “Terus terang saja, saya tidak penuh harap. Seandainya (pengadilan rakyat) berjalan ya monggo (silakan). Seandainya tidak, saya mawas diri,” ujar Handoyo. “Kaum korban seperti saya ini tidak diberikan ruang lingkup yang luas untuk menyampaikan pendapat secara publik walaupun itu dijamin undang-undang,” kata pria yang mengetuai Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) 1965/1966 Cabang Pati, Jawa Tengah, ini. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com