Semua  

Bangkitkan Motivasi Petani Indonesia

Alfi Septiani
Alfi Septiani

PADA awal tahun 1980-1990-an, jumlah mayoritas penduduk Indonesia berprofesi sebagai petani, karena itu Indonesia terkenal sebagai negeri agraris. Orang bilang tanah kita tanah surga,Tongkat kayu dan batu jadi tanaman. Seperti yang tersirat dalam lirik lagu karangan Koes Ploes yang berjudul “Kolam Susu”. Artinya, tanah Indonesia merupakan tanah paling subur di dunia, tanah yang mampu menyediakan segala kebutuhan penduduknya.

Namun kini kedaulatan pangan di Indonesia hanya sebatas jargon. Karena profesi petani dipandang sebelah mata oleh masyarakat. Jarang orangtua sekarang yang mengarahkan anak-anak mereka bercita-cita menjadi petani. Sebagian besar lulusan sarjana pertanian pun enggan memilih profesi petani. Bahkan mirisnya lagi profesi petani banyak dijadikan opsi terakhir bagi generasi muda daripada menjadi pengangguran.

Beberapa faktor muncul bak benteng besar yang membelenggu pikiran mereka karena stereotip kemiskinan selalu disandingkan dengan profesi petani dan gambaran kehidupan pedesaan yang jauh dari modern serta beberapa penampilan petani yang ada di benak mereka hanyalah petani yang lusuh dan kotor. Mana ada gadis desa yang mau ? Semua alasan tersebut bersifat ego dan gengsi belaka.

Faktor lain terkait  proses produksi yang membutuhkan waktu lama, labilnya nilai jual hasil tani, iklim yang sulit diprediksi dan kekhawatiran hama yang merajarela di ladang menjadi faktor yang membuat tenaga petani muda kurang berminat untuk terlibat dalam produksi pertanian.

Faktanya, menurut Biro Pusat Statistika (BPS) dalam sensus pertanian 2013 mencatat jumlah rumah tangga petani 26,13 juta (11% dari total penduduk Indonesia) menurun dari sebelumnya 31,17 juta pada tahun 2003. Hal ini menunjukkan bahwa semakin berkurangnya minat masyarakat untuk berprofesi sebagai petani. 32,76% petani yang berumur 55 tahun atau lebih, masih tetap produktif dan diandalkan dalam produksi pertanian. Padahal, idealnya fase usia tersebut sudah seharusnya pensiun, sedangkan untuk petani utama dengan umur di bawah 35 tahun hanya sekitar12,87% dan perpindahan pekerjaan dari profesi petani ke profesi lain tidak kurang dari 200 ribu orang per tahun.

Dengan semangat kerja keras para petani untuk tetap loyal terhadap profesinya dan terus meningkatkan pemahaman serta kemampuan terhadap inovasi baru dalam praktek usaha tani melalui komunikasi dua arah (sosialisasi dan diskusi) baik di antara sesama para petani atau dengan pihak pemerintah daerah. Keterbukaan informasi dan teknologi yang canggih seharusnya mampu mengetuk hati para orangtua yang memiliki lahan layak produksi untuk dimanfaatkan oleh anak-anaknya dengan metoda yang ia sukai.

Jika petani desa mengandalkan ilmu mengenai cara bertani yang benar dari nenek moyang terdahulu, sekarang anak-anak kita harus diarahkan untuk bertani dengan memiliki keilmuan di bidang pertanian atau minimal mereka mau berbagi ilmunya dalam sosialisasi dan diskusi kepada para petani desa agar hasil produksi meningkat, kesejahteraan keluarga tani terjamin, kebutuhan pangan dalam negeri pun tercukupi. Tak perlu impor beras dan ahli pertanian karena negeri ini memiliki 40 juta orang yang berpotensi sebagai petani. Ayo…bangkit petani Indonesia !

Oleh :

Alfi Septiani

Mahasiswi Program Studi Jurnalistik Fakultas Ilmu Komunikasi

Universitas Garut

Di Perum Jatiputera Asri Blok Q2 No.06 Sukapadang,

Garut, Jawa Barat.