BADAN Pengawas Pemilu dituntut bekerja sama dengan semua instansi dalam mengawasi proses pilkada, menyusul putusan MK yang melegalkan pencalonan dari keluarga petahana – atau pejabat yang akan berakhir masa jabatannya – dalam pilkada.
Mahkamah Konstitusi, dalam keputusannya yang dibacakan Rabu (08/07), membatalkan Pasal 7 huruf r UU No 8/2015 tentang Pilkada, yang melarang calon kepala daerah memiliki konflik kepentingan dengan kepala daerah petahana.
Dengan adanya putusan MK tersebut, maka anggota keluarga, kerabat dan kelompok yang dekat dengan pejabat aktif dapat mengikuti pilkada serentak pada Desember 2015 nanti, tanpa harus menunggu jeda lima tahun atau satu periode jabatan.
Putusan MK ini dipertanyakan pegiat pengawas pemilu dan aktivis antikorupsi karena dikhawatirkan akan melanggengkan praktek politik kekerabatan.
Keterangan Kementerian Dalam Negeri menyebutkan – seperti dilaporkan harian Kompas – hingga tahun 2014 terdapat 59 kepala/wakil kepala daerah terpilih memiliki ikatan keluarga dengan petahana.
Bawaslu harus bersinergi
Menurut LSM Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, Perludem, kekhawatiran langgengnya politik kekerabatan dapat dikurangi apabila Badan Pengawas Pemilu meningkatkan kerja sama dengan semua lembaga terkait dalam mengawasi proses pilkada.
Selain bekerja sama dengan kepolisian, TNI, Bawaslu diminta menjalin kerja sama dengan Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Ombudsman serta komisi aparatur sipil negara, KASN.
“Karena kalau kita terfokus kepada kelembagaan Bawaslu, tentu ada banyak keterbatasan baik kewenangan maupun struktur yang dimiliki Bawaslu,” kata peneliti LSM Perkumpulan Untuk Pemilu dan Demokrasi, Perludem, Veri Junaedi, Kamis (09/07).
Dia mencontohkan, apabila Bawaslu bekerja sama dengan Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi, maka praktek keterlibatan birokrasi dalam memenangkan pasangan calon kepala daerah dalam pilkada sebelumnya dapat dikurangi.
“Kalau pembatasan dan larangan (keterlibatan birokrasi dalam pilkada) berlaku efektif, maka kekhawatiran kita adanya penyimpangan penggunaan kekuasaan di daerah itu bisa diminimalisir menyusul putusan MK,” katanya.
Sementara itu, anggota Badan Pengawas Pemilu, Daniel Zuchron, mengatakan pihaknya akan melakukan kerja sama dengan TNI, kepolisian dan Kementerian PAN-Reformasi Birokasi serta KHSN dalam pengawasan pilkada nanti.
“Kita ingin kepastian jaminan dari pusat yaitu Kementerian PAN dan KHSN agar bagaimana PNS tidak menjadi salah satu pemicu kemenangan politik yang tidak sesuai UU,” kata Daniel.
“Pasti ada sinergi di sana (pengawasan proses pilkada), karena Bawaslu tidak bisa secara langsung memecat PNS yang tidak disiplin, misalnya. Bawaslu tidak bisa sendirian,” katanya.
Dianggap diskriminatif
Dalam pertimbangannya, MK menyatakan ketentuan larangan konflik kepentingan memuat pembedaan perlakuan yang semata didasarkan atas kelahiran dan status kekerabatan seseorang.
Padahal, konstitusi menjamin setiap orang bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapat perlindungan terhadap perlakuan diskriminatif.
Larangan diskriminasi juga ditegaskan dalam Pasal 3 Ayat (3) UU HAM.
Dalam putusannya, MK tidak menafikkan kenyataan ketika kepala daerah yang sedang menjabat punya berbagai keuntungan terkait pencalonan kerabatnya.
MK sepakat dengan pentingnya pembatasan ‘agar posisi yang menguntungkan itu’ tidak disalahgunakan inkumben untuk kepentingan dirinya dan kerabatnya.
Namun demikian pembatasan harus ditujukan kepada kepala daerah inkumben, bukan kepada keluarga, kerabat, atau kelompok-kelompok yang dimaksud.
Dalam pertimbangannya, MK juga menilai kekhawatiran atas munculnya dinasti politik tidak akan terjadi kalau pengawasan berjalan dengan baik.
Pemerintah, menurut MK, seharusnya membuat aturan untuk membatasi adanya kemungkinan petahana menggunakan kekuasaan dalam proses pilkada. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com