FAKTA – DPRD Jawa Timur menggelar rapat paripurna pada Senin (17/11/2025) untuk membahas Raperda Perubahan Kelima atas Perda Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah. Dalam rapat tersebut, anggota Komisi A DPRD Jatim, Erick Komala, menyampaikan laporan pembahasan yang menegaskan bahwa perubahan ini bukan sekadar teknis birokrasi, melainkan upaya memastikan perangkat daerah di Jawa Timur tetap relevan, efektif, dan sesuai perkembangan regulasi serta kebutuhan pembangunan.
Erick menjelaskan bahwa kerangka hukum pembentukan perangkat daerah berlandaskan UU Nomor 23 Tahun 2014. Gubernur sebagai kepala daerah dibantu oleh perangkat daerah yang mencakup unsur staf, unsur pelaksana, dan unsur penunjang. Berdasarkan ketentuan dalam PP Nomor 18 Tahun 2016, setiap perubahan nomenklatur perangkat daerah harus dituangkan melalui peraturan daerah.
Namun, pembentukan dinas baru ini hanya boleh dilakukan oleh daerah yang memenuhi persyaratan ketat, termasuk kapasitas fiskal tinggi, pemenuhan mandatory spending, serta pengendalian inflasi dalam rentang 1,5%–3,5% selama dua tahun terakhir. Jawa Timur saat ini masih berstatus berkapasitas fiskal sedang, sehingga belum memenuhi syarat untuk membentuk dinas ekonomi kreatif mandiri.
Atas dasar itu, nomenklatur ekonomi kreatif disepakati dimasukkan ke dalam Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, yang selanjutnya akan bertransformasi menjadi Dinas Kebudayaan, Pariwisata, dan Ekonomi Kreatif (Disbudparekraf). “Jawa Timur saat ini masih berstatus berkapasitas fiskal sedang,” ujar Erick, mengacu pada PMK Nomor 65 Tahun 2024.
Gubernur Jawa Timur, Emil, memberikan penjelasan lebih filosofis mengenai urgensi penguatan sektor ekonomi kreatif. Ia menekankan integrasi kebudayaan, pariwisata, dan ekonomi kreatif merupakan arah penting untuk masa depan Jawa Timur. “Ekonomi kreatif itu bukan hanya soal produk, tapi juga soal rasa dan cita seni,” ujar Emil.
Ia menjelaskan bahwa pelaku ekonomi kreatif membutuhkan lingkungan birokrasi yang memahami kultur seni, bukan sekadar logika bisnis semata. Oleh karena itu, menempatkan ekonomi kreatif di bawah payung pariwisata dinilai lebih tepat daripada memasukkannya ke sektor UMKM. “Orang-orang di Dinas Budaya, Pariwisata, dan Ekraf itu nanti harus kelihatan seperti orang ekraf, orang seni,” ujarnya sambil tersenyum.
Emil juga menyebutkan bahwa tantangan ke depan bukan hanya bagaimana mengembangkan produk kreatif, tetapi juga bagaimana mengintegrasikan seni dengan teknologi, termasuk AI, tanpa menghilangkan sentuhan manusia agar tetap mempertahankan nilai estetika. Dengan demikian, keberadaan ekosistem yang kuat—dari pendidikan vokasi, laboratorium desain, hingga regulasi yang adaptif—menjadi syarat utama bagi Jatim untuk bersaing di era baru. (Fa)






