FAKTA – Menjelang akhir tahun, selalu ada suasana yang berbeda di lingkungan pemerintahan. Tak hanya kalender yang semakin menipis; tekanan administratif, kepadatan rapat, dan keharusan mencapai target membuat hiruk-pikuk birokrasi terasa seperti mesin yang dipaksa bekerja lebih cepat, lebih presisi, dan tanpa jeda. Di Kabupaten Padang Pariaman, nuansa itu semakin terasa ketika Sekretaris Daerah (Sekda) Rudy R. Rillis mulai mengetatkan barisan menjelang penutupan Tahun Anggaran 2025.
Di sebuah ruang rapat yang biasanya terasa teduh, pagi itu suasana berubah menjadi ruang tekanan. Lampu-lampu menyorot wajah para kepala bagian, asisten, dan pejabat OPD yang memadati kursi-kursi rapat. Di depan mereka, Sekda Rudy berdiri bukan hanya sebagai koordinator pemerintahan, tetapi sebagai penjaga ritme, menentukan apakah langkah pemerintah daerah di penghujung tahun ini tetap stabil, atau justru tersandung.
“Seluruh OPD harus bekerja cepat, tepat, dan penuh integritas. Setiap keterlambatan akan berdampak langsung kepada masyarakat,” tegas Rudy membuka rapat, Senin (17/11/2025).
Pernyataannya sederhana namun penuh bobot. Karena di penghujung tahun anggaran, kesalahan kecil dapat menghasilkan efek domino yang panjang, tidak cairnya anggaran tertentu, tidak tuntasnya pembangunan fisik, terhambatnya program sosial, hingga berkurangnya kepercayaan publik.
Rakyat mungkin hanya melihat jalan yang berlubang ditambal mendadak atau bangunan fasilitas umum yang dikerjakan terburu-buru, tidak menyadari betapa rumitnya mesin birokrasi yang mendorongnya. Dan kini, Rudy berusaha memastikan bahwa roda itu tidak berputar dalam kepanikan, melainkan dalam kendali penuh.
Rapat evaluasi 17 November itu bukan rapat biasa. Setiap pejabat mengetahui bahwa evaluasi menjelang akhir tahun merupakan arena paling krusial bagi pemerintah daerah. Pemerintah bukan hanya mengejar efektivitas administrasi, tetapi kepercayaan publik—aset yang paling mudah retak bila salah satu fondasinya goyah.
Akhir tahun adalah masa ketika OPD dikejar laporan realisasi anggaran, progres fisik, capaian program, hingga penyelesaian administrasi. Di sisi lain, tekanan eksternal juga meningkat. Para kontraktor menagih, masyarakat menunggu, pemerintah pusat menuntut akurasi data, sementara media dengan kritik dan sorotannya selalu siap menilai apakah pemerintah benar-benar bekerja atau hanya merapikan laporan.
Rudy menyadari sepenuhnya kompleksitas ini. Karena itu, ia mengingatkan:
“Percepatan tidak boleh mengorbankan tata kelola pemerintahan yang baik.”
Ia menggarisbawahi dua hal yang sangat disorot dalam evaluasi kali ini:
- Pemantauan realisasi secara real time
- Pencegahan penumpukan pekerjaan pada Desember
Keduanya bukan hal baru, namun sering kali menjadi persoalan klasik. Banyak daerah yang terjebak pada pola “Desemberisasi”—menghabiskan anggaran di menit akhir dan berpotensi mengorbankan kualitas hasil pembangunan. Rudy ingin memutus pola lama itu.
Setiap tahun, fenomena ini berulang, proyek yang bergerak lambat tiba-tiba berlari sprint di November–Desember. Laporan yang kosong berisi entri beruntun dalam beberapa hari. Pekerjaan fisik dikejar hingga malam hari. Dan jika pemerintah tidak berhati-hati, “kejar setoran” menjelang tutup buku anggaran dapat berakhir dengan masalah hukum, kerusakan infrastruktur, atau temuan audit.
Rudy tampaknya memahami risiko itu. Ia tidak ingin daerah ini masuk dalam daftar daerah yang progres pembangunan fisiknya baru terasa ketika kalender hampir habis.
Dalam rapat itu, ia menginstruksikan OPD untuk memastikan tagging realisasi berjalan lancar, karena kesalahan kecil dalam input data dapat menghambat keseluruhan evaluasi. OPD yang berperan dalam proses administrasi juga diminta untuk tetap bekerja cepat, meski tekanan meningkat.
“Respons cepat atas persoalan masyarakat adalah ukuran sensitivitas pemerintah,” ujar Rudy, mengingatkan bahwa di balik seluruh laporan itu, ada kepentingan publik yang tidak boleh diabaikan.
Jika ada sektor yang paling sensitif menjelang tutup tahun anggaran, jawabannya adalah pengadaan barang dan jasa.
Rudy tidak menutup mata. Ia tahu bahwa menjelang akhir tahun, banyak pihak eksternal yang mencoba memainkan peran, menekan atau mempengaruhi proses pengadaan dengan mengatasnamakan pejabat tertentu. Dalam beberapa kasus di daerah lain, modus ini bahkan menjadi pintu masuk praktik korupsi.
Karena itu, Rudy mengeluarkan peringatan keras:
“Jangan percaya kepada siapapun yang membawa nama pimpinan tanpa verifikasi. Seluruh proses harus mengikuti mekanisme resmi.”
Pernyataan ini bukan tanpa alasan. Pada masa-masa seperti ini, ruang bagi manipulasi semakin besar karena pemerintah tengah mengejar ketepatan waktu. Pada titik itu, integritas pejabat menjadi benteng terakhir yang dapat mencegah penyimpangan.
Rudy memastikan bahwa bending itu harus tetap kuat. Birokrasi Padang Pariaman, menurutnya, berada pada fase penting: menentukan apakah pemerintah daerah mampu menjaga transparansi sekaligus profesionalitas di tengah tekanan.
Dalam rapat tersebut, Rudy juga menyoroti salah satu proyek strategis yang menjadi perhatian besar yakni pembangunan Jembatan Sikabu.
Jembatan ini bukan sekadar pembangunan fisik. Ia adalah simpul konektivitas, yang akan menghubungkan kawasan permukiman dengan area produktif, mempercepat arus ekonomi, dan membuka isolasi lokal. Jembatan Sikabu telah lama diusulkan dan kini berada pada tahap siap dimulai setelah penyelesaian masalah tanah di lokasi.
Dalam banyak daerah, pembangunan infrastruktur sering terhambat karena masalah lahan. Padang Pariaman tampaknya berhasil menembus hambatan itu, sehingga proyek ini diproyeksikan akan menjadi salah satu pencapaian pembangunan paling strategis.
Rudy mengingatkan OPD teknis agar mengawal pembangunan sejak awal, terutama jaminan kualitas pekerjaan dan ketepatan progres fisik. Ia menegaskan bahwa proyek strategis seperti ini harus memberikan dampak nyata pada masyarakat, bukan sekadar menambah daftar proyek pembangunan.
Dalam evaluasi tersebut, Sekda memberi perhatian serius pada sektor-sektor fundamental, seperti:
- pelayanan sosial,
- kesehatan,
- penanganan stunting,
- gizi buruk,
- dan perbaikan permukiman.
Rudy menekankan bahwa angka-angka seperti “angka stunting” atau “angka kemiskinan ekstrem” bukan sekadar data statistik, melainkan wajah manusia yang harus ditolong. Karena itu, program-program yang menyasar kelompok rentan harus tetap berjalan dengan ritme yang stabil, tidak boleh menurun menjelang akhir tahun.
“Kita tidak sedang mengejar angka. Kita sedang mengejar perubahan hidup masyarakat,” kata Rudy.
Ungkapan ini menjadi salah satu titik paling kuat dari rapat tersebut. Ia mengingatkan bahwa pemerintah daerah tidak boleh larut dalam rutinitas administratif dan mengorbankan tujuan sejatinya: memfasilitasi kesejahteraan masyarakat.
Di sinilah letak ujian sebenarnya: apakah pemerintah dapat mempertahankan kualitas layanan meski sedang dikejar target administrasi?
Rudy juga berbicara tentang media massa. Bagi sebagian pejabat, media adalah pengawas yang merepotkan. Namun Rudy menilai media sebagai mitra strategis pemerintah. Pers bukan hanya menyampaikan informasi pembangunan, tetapi juga berfungsi sebagai jembatan antara kebijakan dan publik.
“Pers adalah mitra strategis pemerintah dalam menyosialisasikan program, mengedukasi masyarakat, dan menjaga objektivitas informasi,” tegasnya.
Di era digital, peran media menjadi semakin penting untuk:
- menangkal hoaks,
- mengawasi transparansi,
- dan memperkuat kepercayaan publik terhadap pemerintah.
Dengan kata lain, pemerintah daerah tidak boleh alergi terhadap kritik. Sebaliknya, kritik perlu dipandang sebagai peluang perbaikan. Dan komitmen seperti ini menjadi pembeda penting dalam tata kelola pemerintahan modern.
Sering kali, laporan-laporan pemerintah terlihat rapi di kertas, namun pelaksanaan di lapangan justru menjadi titik kritis sesungguhnya. Menjelang akhir tahun anggaran, aparat pemerintah daerah biasanya menghadapi tekanan berlapis:
- tekanan administrasi,
- tekanan teknis,
- tekanan politis,
- dan tekanan publik.
Rudy meminta seluruh OPD menjaga fokus dan tidak terpancing oleh tekanan eksternal. Mereka diminta memastikan bahwa pelayanan publik tetap berjalan optimal meski beban pekerjaan meningkat.
Bagi masyarakat, pelayanan publik mungkin terlihat sederhana, layanan kesehatan yang cepat, bantuan sosial yang tepat waktu, atau pembangunan infrastruktur yang sesuai target. Namun di balik itu ada birokrasi panjang yang bekerja senyap.
Seketika, ruang rapat hari itu berubah menjadi gambaran kecil dari pertarungan besar di dalam birokrasi, disiplin versus kelalaian, integritas versus godaan, pelayanan publik versus kepentingan kelompok.
Menutup rapat, Rudy memberikan pesan yang menjadi rangkuman dari semuanya:
“Pastikan seluruh langkah kita memberikan dampak nyata bagi masyarakat. Pelayanan publik harus tetap optimal hingga penutup tahun anggaran.”
Ini bukan hanya instruksi teknis, melainkan ikrar. Di tengah dinamika politik, tekanan ekonomi, dan ekspektasi publik yang terus meningkat, pemerintah daerah memikul tanggung jawab besar untuk membuktikan bahwa birokrasi bukanlah mesin lambat yang hanya bergerak karena kewajiban administratif.
Padang Pariaman, menurut Rudy, harus masuk dalam daftar daerah yang menutup tahun anggaran dengan:
- laporan yang akurat,
- pembangunan yang nyata,
- dan kepercayaan publik yang meningkat.
Menjelang garis finish Tahun Anggaran 2025, seluruh OPD kini berada dalam fase paling menentukan, apakah mereka mampu mempertahankan ritme yang stabil hingga detik terakhir, atau justru tersandung oleh tekanan internal dan eksternal. Hanya waktu dan kualitas kerja yang akan menjawabnya.(ss)






