WAKIL Presiden RI, Jusuf Kalla (JK), mengatakan pemerintah Indonesia tidak perlu menanggapi Pengadilan Rakyat Internasional 1965 yang digelar di NieuweKerk, Den Haag, Belanda. Hal itu dikatakannya di Istana Wapres, Jakarta, Rabu (12/11/2015).
“Itu kan persidangan bukan pengadilan beneran. Kalau pengadilan beneran bisa bertahun-tahun,” kata JK.
Menurut JK, jika memang masyarakat internasional ingin mengusut secara serius kejadian pada 1965, maka mereka juga perlu mengusut kejahatan lain yang dilakukan sejumlah negara barat dalam peperangan.
“Boleh, kalau barat mau begitu. Kita juga adili di sini. Lebih banyak mereka (warga) terbunuh secara (perang) begitu,” ujar JK.
Terkait kesaksian sejumlah WNI dalam persidangan tesebut, JK mengatakan, pemerintah dapat memberikan kesaksian atas tewasnya korban akibat penjajahan negara asing di Indonesia.
Sebelumnya, JK menegaskan, pemerintah tak perlu meminta maaf atas peristiwa 1965.
“Tentu silakan saja, tetapi jangan lupa bahwa (peristiwa) itu dimulai dengan tewasnya jenderal-jenderal kita. Ya masa’ pemerintah minta maaf, padahal yang dibunuh para jenderal kita, gimana sih ?” kata JK.
International Peoples Tribunal menggelar persidangan tersebut di Den Haag, Belanda, pada 10-13 November 2015. Mereka menuding Pemerintah Indonesia pada waktu itu melakukan pembunuhan masal, penculikan, penganiayaan, kekerasan seksual dan campur tangan negara lain pasca peristiwa Gerakan 30 September 1965.
Pengadilan Rakyat untuk kasus 65 ‘tak perlu dilakukan’
Muhammadiyah menyatakan Pengadilan Rakyat Internasional atau IPT yang digelar di Den Haag, Belanda, 10-13 November ini tak perlu dilakukan, karena penyelesaian kasus pelanggaran HAM di masa lalu bisa dilakukan dengan rekonsiliasi.
Ketua Umum Muhammadiyah terpilih, Haedar Nashir, menilai peristiwa yang terjadi pada 1965 ini merupakan kasus politik yang rumit dan proses hukumnya tidak akan dapat dilakukan dengan mudah karena banyak yang terkait.
“Tidak sesederhana itu, tak mudah kita giring pada pelanggaran HAM karena politik yang rumit,” jelas Haedar kepada Sri Lestari dari BBC Indonesia, hari Rabu (11/11).
“PKI itu jadi bagian tidak terpisahkan dari kekerasan yang dilakukan sebelumnya dan rentetan sikap politik PKI sendiri yang melakukan kudeta pada 1948 yang secara politik menimbulkan aksi-reaksi yang membuatnya tidak mudah orang mencari siapa korban dan pelaku dalam konteks pelanggaran HAM,” kata Haedar.
Menurut dia, peristiwa 1965 harus dilihat secara utuh tidak hanya dari sisi korban PKI saja.
“Kalau mau jujur dan obyektif itu sekalian juga yang pernah menjadi korban dari tindak kekerasan yang terjadi pada PKI,” kata dia.
Tetapi dia mengakui, selama ini tidak ada upaya dari kelompok Islam untuk membawa kasus pelanggaran HAM yang dialami sebelum peristiwa G30S ke jalur hukum.
Perlu minta maaf ?
“Ya mungkin karena beberapa hal, antara lain adalah secara kultur yang menganggap peristiwa yang lalu biarlah berlalu dan tidak terulang lagi,” kata Haedar.
Haedar menyatakan cara yang tepat untuk menyelesaikan kasus ini adalah melalui rekonsiliasi, tetapi tidak disertai permintaan maaf negara.
“Tidak perlu rekonsiliasi itu pemerintah harus meminta maaf karena konsekuensinya itu panjang, nanti pada pendulum lain ada muncul reaksi dari kelompok Islam yang menjadi korban dan sebagainya, kalau tidak tutup buku maka akan muncul semua nanti,” katanya.
Haedar mengatakan rekonsiliasi dapat dilakukan dengan cara pemerintah mengajak semua korban peristiwa 65 dari kalangan Islam, militer dan juga keluarga PKI untuk rekonsiliasi secara kultural.
Sebelumnya, Komnas HAM menilai presiden perlu minta maaf kepada korban, bukan kepada PKI.
Pengadilan Rakyat di Den Haag diinisiasi oleh aktivis HAM dan sejumlah warga Indonesia di Belanda dan sejak awal ditegaskan bahwa pengadilan tidak memiliki kekuatan hukum.
Dalam pengadilan ini dihadirkan kesaksian dari para penyintas dan orang-orang yang mengetahui apa yang disebut sebagai “pembunuhan masal pada 1965”.
Rekonsiliasi
Ketua jaksa penuntut dalam sidang Pengadilan Rakyat Internasional (IPT) mengenai peristiwa tahun 1965 yang menewaskan ratusan ribu jiwa mendakwa negara Indonesia sebagai pihak yang bertanggung jawab.
Dakwaan itu antara lain meliputi penghilangan paksa, pemenjaraan, penyiksaan, dan kekerasan seksual pasca meletusnya peristiwa 30 September 1965.
Sementara itu, Menteri Koordinator Politik, Hukum dan HAM RI, Luhut Panjaitan, mempertanyakan langkah warga Indonesia yang terlibat dalam penyelenggaraan Pengadilan Rakyat Internasional di Belanda tersebut.
“Itu orang-orang Indonesia (yang menyelenggarakan IPT 1965 itu) mungkin kurang kerjaan barangkali. Kita orang Indonesia tahu menyelesaikan masalah-masalah Indonesia. Mereka orang-orang Indonesia yang mungkin pikirannya sudah tidak Indonesia lagi.”
Beberapa waktu lalu, pemerintah melalui Jaksa Agung, H M Prasetyo, mengatakan akan menyelesaikan kasus pelanggaran HAM di masa lalu termasuk kasus 65 dengan cara rekonsiliasi. (Kompas.com/BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com