Wacana Pilkada Serentak 2024 Dimajukan, Ini Respon KPU

Muncul wacana pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dimajukan, dari sebelumnya 27 November 2024 menjadi September 2024.

FAKTA – Muncul wacana pelaksanaan Pilkada Serentak 2024 dimajukan, dari sebelumnya 27 November 2024 menjadi September 2024. Jika Pilkada 2024 digelar November, pelantikan seluruh kepala daerah terpilih sulit dilakukan secara serentak. Sebab, ada potensi gugatan sengketa pilkada. Sehingga, pelantikan kepala daerah terpilih paling lambat dilakukan pada Januari 2025.

Komisi Pemilihan Umum (KPU) merespon soal wacana tersebut dengan mengatakan, akan mengikuti aturan yang ada.

“Yang pasti KPU akan taat terhadap regulasi, termasuk jika ada regulasi yang muncul belakangan,” ujar Komisioner KPU RI, Muhammad Afifuddin kepada wartawan, Jumat (1/9/2023).

Menurut Afif, wacana Pilkada dimajukan ini tentunya akan menambah beban kerja yang dihadapi. Sebab, bakal ada tahapan yang beririsan di waktu yang bersamaan.

“Ya, secara praktis bertambah. Dalam arti irisan tahapan yang beririsan di waktu yang sama lebih banyak,” ujarnya.

Kendati begitu, Afif menyebut pihaknya tetap akan mempersiapkan semua jajaran untuk menyesuaikan jika terjadi perubahan. Namun, sampai saat ini KPU masih mempedomani aturan yang ada, hingga disahkannya Perppu terkait Pilkada.

“Tapi, sampai detik ini kita masih mengikuti aturan yang sudah kita pedomani, tahapan-tahapan yang awal. Kalau ada Perppu, misalnya, ya itu kita pedomani,” katanya.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) mempertanyakan urgensi mempercepat Pilkada.

“Belum sampai ke situ kok saya. Urgensinya apa, alasannya apa, semuanya perlu dipertimbangkan secara mendalam,” kata Jokowi di ICE BSD, Kabupaten Tangerang, Banten, Kamis (31/8/2023).

Jokowi mengatakan wacana tersebut harus dipertimbangkan secara matang. Dia mengatakan kajian soal pelaksanaan Pilkada Serentak saat ini masih dilakukan di Kemendagri.

“Saya kira semua itu masih kajian di Kemendagri dan saya belum tahu mengenai itu,” ujarnya.

Wakil Ketua Komisi II DPR RI Yanuar Prihatin menyebut, wacana tersebut berpotensi menimbulkan kegaduhan baru.

“Perubahan jadwal ini berpotensi menimbulkan kegaduhan baru, sekaligus mendorong munculnya ketidakpercayaan publik kepada penyelenggara pemilu dan pembuat undang-undang,” kata Yanuar.

Yanuar menganggap pemungutan suara di tanggal tersebut membuat Pilkada 2024 berjalan lebih netral dan meminimalisasi intervensi pemerintah. Apabila pemungutan suara Pilkada 2024 dilaksanakan pada 27 November, maka sudah ada pemerintahan baru hasil Pemilu 2024. Presiden dan wakil presiden pengganti Presiden Jokowi dilantik 20 Oktober.

Namun, jika pemungutan suara Pilkada 2024 dimajukan jadi September, pemerintahan Presiden Jokowi masih menjabat. “Pelaksanaan pilkada serentak di bulan November 2024 akan lebih netral dari kemungkinan intervensi Pemerintah, sebab pemerintahan baru belum terkonsolidasi secara sempurna di bulan November 2024,” ujar Yanuar.

Sebelumnya, Anggota Komisi II DPR RI Aminurokhman, turut menyoroti wacana memajukan jadwal Pilkada Serentak 2024. Menurutnya, wacana tersebut juga harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk mekanisme pelantikan serentak kepala daerah terpilih.

Ia mengatakan, isu tersebut belum bisa ia sikapi secara formal karena masih bersifat wacana dan belum ada pembahasan resmi di DPR RI. “Konteksnya maju dan tetap itu menurut saya perlu dijadikan argumen yang lebih rasional,” kata Amin, dalam keterangannya dikutip situs DPR, Rabu (30/8/2023).

Politisi Fraksi Partai NasDem ini menyampaikan, DPR RI perlu mengantisipasi semua hal  terkait Pilkada 2024. Di antaranya adalah kemungkinan adanya putaran kedua, perselisihan hasil pemilihan umum (PHPU), dan pelantikan serentak.

“Untuk memajukan pilkada, DPR RI pun juga akan memperhatikan agenda Pemilu 2024 yang kemungkinan akan beririsan. Itu yang perlu menjadi pertimbangan di situ,” tambahnya.

Legislator dari Dapil Jatim II menyambut wacana memajukan pilkada tersebut, namun perlu dikaji secara komprehensif dan menunggu diskusi pemerintah dan DPR RI. “Perlu ada argumentasi yang lebih rasional. Jika UU 10/2016 masih relevan dengan kondisi yang ada, penyelenggara harus melaksanakan sesuai UU tersebut,” pungkasnya. (*)