Trans Jatim Koridor VII Batal Masuk Joyoboyo, Kepala Dishub Provinsi Jatim Beri Penjelasan

FAKTA – Harapan warga Sidoarjo dan Surabaya Barat untuk bisa menikmati layanan Bus Trans Jatim Koridor VII harus tertunda.

Rencana trayek baru yang sedianya menghubungkan Krembung, Sidoarjo, hingga Terminal Joyoboyo, Surabaya itu harus diubah haluan.

Bukan karena gagalnya perencanaan teknis, tapi karena belum ada restu untuk masuk ke pusat kota Surabaya, khususnya Terminal Joyoboyo.

Kepala Dinas Perhubungan Jawa Timur, Nyono, mengungkapkan bahwa sejak awal sebenarnya pihaknya ingin menjadikan Joyoboyo sebagai titik akhir dari rute ini. Namun, realitas di lapangan berkata lain.

“Benar, kita awalnya mengarah ke Joyoboyo. Tapi arahan yang kami terima, bus diminta berhenti di Rusun Karangpilang,” ujar Nyono.

Sayangnya, lokasi tersebut tidak terjangkau oleh moda transportasi lokal seperti Wira-Wiri atau Suroboyo Bus.

“Di sana belum ada feeder. Jadi agak sulit untuk melanjutkan perjalanan ke pusat kota dari titik itu,” imbuhnya.

Bukan cuma soal konektivitas yang belum memadai, kondisi lalu lintas di jalur Legundi yang bakal dilewati bus juga jadi pertimbangan. “Macetnya parah di situ,” singkat Nyono.

Meski begitu, Pemprov Jatim tak tinggal diam. Proyek Trans Jatim Koridor VII terus dikebut, terutama untuk jalur Lamongan yang juga menjadi bagian dari pengembangan sistem transportasi berbasis koridor ini.

“Jalan di Lamongan itu milik provinsi. Jadi kita sedang matangkan semuanya agar nanti saat HUT Provinsi Oktober nanti, koridor ini bisa resmi beroperasi,” tambah Nyono optimistis.

Sementara itu, dari pihak Pemkot Surabaya, Wali Kota Eri Cahyadi juga buka suara soal kenapa Trans Jatim belum bisa masuk ke Joyoboyo.

Menurut Eri, keberadaan jalur trayek di Surabaya harus dijaga keseimbangannya.

“Di Surabaya itu sudah ada Wira-Wiri dan Suroboyo Bus di koridor yang sama. Kalau langsung dimasuki trayek dari luar, yang lokal jadi sepi penumpang. Itu kan kasihan,” terang Eri.

Ia menyebut, kondisi ini sempat menimbulkan reaksi dari sopir-sopir angkutan umum Surabaya, bahkan sampai ada aksi protes. Karena itu, pemerintah kota memilih menjaga ekosistem transportasi lokal tetap hidup.

“Kalau mau masuk Surabaya, ya harus ada titik transit. Jadi penumpang bisa lanjut naik trayek dalam kota. Supaya semua tetap jalan, semua tetap dapat penumpang,” tegasnya.

Bagi Eri, transportasi publik bukan sekadar soal mobilitas, tapi juga soal keberlangsungan hidup para pengemudi.

“Sopir-sopir Surabaya ini juga butuh makan. Jangan sampai mereka kehilangan penghasilan karena sistem transportasi yang tidak adil,” tutupnya.

Kini, publik tinggal menanti apakah solusi transit atau rute alternatif akan segera ditemukan. Karena kebutuhan akan transportasi massal yang nyaman dan terjangkau tetap menjadi harapan banyak warga di dua daerah bertetangga ini. (nyo)