FAKTA – Sebuah musala yang belum genap setahun berdiri, ambruk dalam sekejap, menyeret ratusan harapan dan satu nyawa ke dalam tumpukan material bangunan. Insiden tragis di Pondok Pesantren Al Khoziny Sidoarjo pada Senin (29/9/2025) pukul 15.00 WIB.
Ini bukan hanya sekadar kecelakaan konstruksi, melainkan sebuah tragedi yang mengejutkan, terjadi saat para santri seharusnya sedang khusyuk beribadah.
Satu orang dilaporkan tewas, sementara sedikitnya 79 korban lainnya harus dilarikan ke rumah sakit RS Notopuro, RS Delta Surya, dan RS Siti Hajar—dengan kondisi luka-luka. Namun, drama belum berakhir. Di tengah reruntuhan, tim SAR Surabaya masih berjibaku, sebab suara tangisan dan jeritan santri yang terjebak masih terdengar, menjadi nyanyian pilu di balik timbunan beton.
’Penopang Cor Itu Tidak Kuat’
Pengasuh Ponpes Al Khoziny, Abdus Salam Mujib, angkat bicara soal musibah yang melanda lembaga pendidikannya. Ia menunjuk satu biang keladi utama: beban yang tak tertahankan.
”Ponpes Al Khoziny Sidoarjo dalam tahap pengecoran akhir di bagian atas atau dek,” jelas Abdus Salam Mujib. Proyek yang sudah berlangsung 9 hingga 10 bulan itu, tiba-tiba gagal di momen krusial. “Sepertinya penopang cor itu tidak kuat. Jadi seperti menopang ke bawah,” katanya. Pengecoran terakhir yang dilakukan sejak pagi, diperkirakan selesai sekitar tengah hari, namun justru berujung pada kehancuran di sore hari.
Kesaksian Santri: Runtuh di Tengah Salat
Kisah mencekam datang dari salah satu santri yang selamat, MJ (13), asal Sampang, Madura. Ia menjadi saksi mata detik-detik saat bangunan tiga lantai yang digunakan sebagai musala itu, padahal masih dalam tahap pembangunan.
”Awalnya ada yang krek… mau ngecor paling atas,” tutur MJ. Menurutnya, masalah utama adalah pada proses pengecoran di lantai 4 (atap). “Itu langsung full tidak diisi setengah jadi bahan-bahan di bawahnya tidak kuat,” ungkapnya.
Di saat santri-santri lain sedang mengaji atau salat berjamaah di lantai bawah yang sudah difungsikan, musibah pun datang. “Dengar suara seperti material jatuh retak-retak tambah lama tambah keras akhirnya [material] jatuh di atas, lantai lain juga jatuh,” kenangnya. Suara retakan itu seketika berubah menjadi gemuruh kehancuran yang menimpa mereka yang sedang menundukkan kepala.
Kini, fokus utama beralih pada upaya evakuasi. Setiap galian, setiap serpihan yang diangkat oleh tim gabungan SAR, membawa harapan dan ketakutan bagi keluarga serta para wali santri yang harap-harap cemas menanti kabar dari balik puing-puing. Tragedi ini menjadi pengingat pahit akan pentingnya keselamatan dan kekuatan konstruksi, terutama di tempat yang menjadi rumah kedua bagi ratusan santri.(son)






