FAKTA – Geliat sejarah Kota Batu yang selama ini tertutupi gemerlap wisata alam, kini mulai diulik secara mendalam. Majelis Masyarakat Maiyah Malang Raya menggelar forum Sinau Bareng (Belajar Bersama) bersama masyarakat Kota Batu, Minggu (23/11/2025), yang fokus pada Bedah Sejarah Kota Batu. Acara yang berlangsung di Balaidesa Bulukerto, Kecamatan Bumiaji, ini menjadi ajang penting untuk mencari kebenaran otentik tentang usia dan akar budaya kota apel tersebut.
Forum ini mendatangkan narasumber pegiat sejarah sekaligus konten kreator YouTuber, Asisi (Asisi Chanel), dan Arkeolog dari Sidoarjo, Sigit, serta dihadiri oleh Kepala Desa Bulukerto, Suhermawan, Dewan Kesenian Kota Batu (DKKB), Kasepuhan Wong Batu (KWB), Lembaga Adat Desa dan Kelurahan, Juru Pelihara Punden, dan MLKI (Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia) Kota Batu, ini diharapkan dapat menambah khazanah pengetahuan akar sejarah bagi warga Kota Batu.
Kepala Desa Bulukerto, Suhermawan, yang juga pengurus Maiyah Malang Raya, Ia menyampaikan bahwa tujuan utama forum ini adalah untuk mengeliminasi ‘silang-sengkar’ atau ketidakpastian dalam narasi sejarah Kota Batu.
“Forum ini tujuannya agar terkait sejarah Kota Batu itu supaya mendekati kebenaran. Minimal kita mengetahui banyak versi, berdasarkan kajian-kajian secara ilmiah dan otentik, sehingga cerita yang kita sampaikan kepada anak cucu itu mendekati kebenaran, tidak hanya berdasarkan cerita atau penerawangan gaib,” jelas Suhermawan.
“Sinau Bareng” kali ini merupakan seri perdana dan bersifat pembuka ruang diskusi publik. Dalam sesi pertama ini, sejarawan sekaligus konten kreator Asisi Chanel, Ia memaparkan penelusuran sejarah dari situs-situs otentik, mulai dari Candi Songgoriti, Prasasti Sangguran, hingga Minto Stone, serta cerita yang berasal dari abad ke-6 Masehi.
Selain kajian ilmiah, diskusi ini juga membawa pesan filosofis. Menurut Asisi, upaya menggali sejarah ini adalah pondasi untuk menumbuhkan “bangunan cinta” yang lebih besar terhadap Kota Batu.
“Kita tidak mungkin mendorong masyarakat untuk ‘ayo cintai Kota Batu’, tetapi harus dikembalikan ke wilayah masing-masing. Setiap warga harus mencintai dan bangga dengan wilayahnya, misal Desa Bulukerto. Ketika masing-masing daerah mencintai, itu akan membentuk satu gabungan atau jahitan cinta yang lebih besar lagi, yaitu Kota Batu,” tegas Asisi.
Asisi juga menyoroti bahwa selama ini Kota Batu hanya terekspos sebagai kota wisata alam, padahal memiliki kedalaman budaya yang luar biasa.
“Kota Batu itu menarik. Setelah kita gali, ternyata punya budaya yang cukup dalam. Bahkan Batu sendiri usianya sudah enam abad sejak zaman Majapahit. Harusnya Batu berbangga bukan cuma dari wisatanya, tetapi juga dari budaya yang dimilikinya,” ujar Asisi.
Asisi berharap, kegiatan “Sinau Bareng” ini dapat mendorong masyarakat untuk memandang Batu sebagai kota yang utuh, yaitu perpaduan antara keindahan alam dan kekayaan budaya. Ini juga menjadi seruan bagi pemerintah kota untuk lebih memperhatikan pengembangan wisata budaya, seperti pengangkatan tradisi syukuran tahunan di berbagai daerah. (Fur)






