SETELAH TERIMA TAMU MALAM DITANGKAP KPK

Ketua DPD RI, Irman Gusman, keluar dari gedung KPK Jakarta menuju ke mobil tahanan KPK usai diperiksa, Sabtu (17/9).
Ketua DPD RI, Irman Gusman, keluar dari gedung KPK Jakarta menuju ke mobil tahanan KPK usai diperiksa, Sabtu (17/9).

KEPALA Pemberitaan dan Publikasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Priharsa Nugraha, menegaskan bahwa jumlah nominal uang tidak menjadi ukuran bagi pihaknya melakukan operasi tangkap tangan (OTT) terhadap tersangka kasus korupsi.

Hal itu diungkapkan Priharsa menanggapi tudingan-tudingan terhadap KPK yang dianggap hanya mengungkap dan menangkap tersangka kasus korupsi yang nominalnya kecil-kecil saja.

Dalam kasus Ketua Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia (DPD RI), Irman Gusman, misalnya. Barang bukti Rp 100 juta dari OTT di kediamannya itu dinilai kecil oleh sejumlah pihak.

Menurut Priharsa, tindakan Irman Gusman menerima suap dari Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, menjadi dasar OTT yang dilakukan KPK. “Yang jadi dasar KPK adalah perbuatannya. Perbuatan yang bersangkutan diduga menerima suap dan itu bertentangan dengan kewajibannya dan aturan,” ujar Priharsa di KPK, Selasa (20/9).

Selain itu, menurut Priharsa, sejumlah pihak yang menilai penangkapan terhadap tersangka korupsi di bawah Rp 1 miliar seperti yang tertuang dalam pasal 11 ayat 3 UU KPK adalah tidak tepat. Priharsa menekankan, dalam pasal tersebut disebutkan,”Yang menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar”.

Sementara itu, dalam kasus suap, kata dia, belum tentu ada kerugian negara.

Dengan demikian, tidak ada batasan minimum Rp 1 miliar untuk mengungkap kasus gratifikasi.

“Jadi, dugaan tipikor yang berkaitan dengan kerugian negara. Kalau suap kan belum tentu ada kerugian negaranya. Jadi, tidak menggunakan yang itu. Jadi, tidak ada batasan yang Rp 1 miliar untuk dugaan tindak pidana suap,” ujarnya.

Sebelumnya, pengacara keluarga Irman Gusman, Tommy Singh, juga pernah mengomentari penangkapan Irman Gusman oleh KPK. Ia menganggap janggal tuduhan penerimaan suap oleh kliennya tersebut. Menurut dia, tak mungkin Irman Gusman menerima suap yang bilangannya kecil, hanya Rp 100 juta.

“Saya pikir secara material kasus ini buat saya sedikit lucu. Angkanya kecil sekali. Bukan kelas Pak Irman-lah,” ujar Tommy Singh di Gedung KPK, Jakarta, Sabtu (17/9).

Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, dan istrinya, Memi, usai menjalani pemeriksaan di KPK.
Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, dan istrinya, Memi, usai menjalani pemeriksaan di KPK.

Seperti diketahui bahwa selain menangkap Irman Gusman, KPK juga mengamankan Direktur CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, serta istrinya, Memi, dan adiknya, Willy Sutanto. Uang yang diamankan KPK diduga suap dari Xaveriandy kepada Irman untuk pengurusan kuota gula impor yang diberikan Bulog.

Berdasarkan gelar perkara yang dilakukan pimpinan KPK dan penyidik, Irman, Xaveriandy dan Memi ditetapkan sebagai tersangka dalam perkara suap ini.

Awalnya, KPK menangani perkara lain milik Xaveriandy, yaitu penangkapan 30 ton gula pasir tanpa label Standar Nasional Indonesia (SNI) yang tengah berjalan di Pengadilan Negeri Padang. Dalam perkara tersebut, KPK pun menetapkan Xaveriandy sebagai tersangka karena diduga memberi suap Rp 365 juta kepada Farizal, jaksa dari Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat.

Jaksa Agung, Muhammad Prasetyo, membenarkan bahwa ada oknum jaksa penuntut umum yang diduga terlibat dalam perkara korupsi Irman Gusman. Ia memastikan, jaksa yang dimaksud telah dinonaktifkan. “Sudah dinonaktifkan, diberhentikan sementara dulu,” ujar Prasetyo di Kompleks Istana Kepresidenan Jakarta pada Selasa (20/9).

Jika oknum jaksa tersebut telah dinyatakan sebagai tersangka dan perkaranya masuk ke penuntutan, menurut Prasetyo, Kejaksaan Agung akan memberhentikannya secara tidak hormat. Saat ini, ia memastikan bahwa oknum jaksa itu tengah diproses di Jaksa Agung Muda Pengawasan.

Sementara itu, Ketua KPK, Agus Rahardjo, belum dapat berkomentar terkait dugaan keterlibatan jaksa penuntut umum dalam perkara korupsi Irman Gusman.

Ia masih menunggu perkembangan penyidikan. “Saya masih menunggu hasil penyelidikan perihal itu,” ujar Agus di Istana.

Dugaan keterlibatan Jaksa Penuntut Umum dalam rangkaian perkara korupsi Irman Gusman pertama kali diungkapkan oleh Wakil Ketua KPK, Laode M Syarif.

Mulanya, KPK mengusut dugaan suap Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, kepada Jaksa Farizal. Namun, di tengah-tengah penyelidikan itu, KPK menemukan keterlibatan Irman Gusman.

“Ternyata dalam penyelidikan ada informasi baru yang didapatkan KPK sehingga mengantarkan pada OTT pagi tadi,” ujar Syarif di gedung KPK, Jakarta, Sabtu (17/9).

Kasus yang ditangani oleh Jaksa Farizal berkaitan dengan distribusi gula yang diimpor tanpa SNI. Dalam kasus ini, Sutanto merupakan terpidana yang tengah menjalani sidang.

Kejaksaan Agung masih mendalami dugaan pelanggaran etik yang dilakukan jaksanya, Farizal. Ia dijerat KPK sebagai tersangka dugaan penerimaan suap untuk mengurus perkara Direktur Utama CV Semesta Berjaya, Xaveriandy Sutanto, yang diadili di Pengadilan Negeri Padang. Jaksa Agung Muda Bidang Pengawasan Kejaksaan Agung telah memeriksa sejumlah pihak terkait dugaan pelanggaran etik ini.

Mereka yang diperiksa antara lain Asisten Kepala Kejaksaan Tinggi Sumatera Barat, Asisten Pidana Khusus, Asisten Pidana Umum, rekan sesama jaksa dalam tim Farizal, dan juga Farizal sendiri. Dari pemeriksaan itu, ditemukan sejumlah fakta yang mengindikasikan bahwa Farizal memang melanggar etik. Berdasarkan keterangan yang diambil dari pejabat Kejati Sumbar dan pengakuan Farizal, hasilnya menyerupai dengan apa yang dituduhkan KPK kepadanya.

Tak pernah ikut sidang

Jaksa Farizal (tengah) saat dijemput tim Kejagung di KPK.
Jaksa Farizal (tengah) saat dijemput tim Kejagung di KPK.

Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejaksaan Agung, Muhammad Rum, mengatakan, ada indikasi sejumlah penyimpangan perilaku Farizal. Pertama, Farizal tidak pernah sekalipun mengikuti sidang perkara di mana Sutanto menjadi terdakwa.

Padahal, ia merupakan jaksa penuntut umum dalam kasus terkait distribusi gula yang diimpor tanpa SNI itu.

“Memang Farizal ini salah satu jaksa penuntut umum yang menyidangkan kasus XSS (Sutanto) di PN Padang. Dia juga sebagai ketua tim jaksa tapi tidak pernah menghadiri sidang,” ujar Rum di kompleks Kejaksaan Agung, Jakarta, Rabu (21/9).

Farizal juga disebut tidak informatif kepada sesama anggota tim jaksa penuntut umum dalam kasus itu, sehingga mereka berjalan tanpa koordinasi dengan Farizal.

Selain itu, Farizal juga membantu Sutanto dalam menyusun eksepsi. Perbuatan tersebut dianggap melampaui kewenangannya sebagai jaksa penuntut umum karena semestinya yang menyusun eksepsi adalah terdakwa bersama penasihat hukum.

Mengaku terima suap

Hal lain yang diakui oleh Farizal yaitu penerimaan sejumlah uang dari Sutanto. Rum mengatakan, Farizal mengaku menerima uang Rp 60 juta dari terdakwa.

“Sementara dia baru terima Rp 60 juta dalam empat kali penerimaan. Tapi ini belum final, mesih terus dikembangkan,” kata Rum.

Padahal, KPK menuding Farizal menerima Rp 365 juta dari Sutanto untuk membantu perkara pidana yang disidangkan di Pengadilan Negeri Padang tersebut.

Kejanggalan sudah dirasakan sebelum perkara Sutanto disidangkan.

Sejak di tingkat penyidikan hingga persidangan, Sutanto hanya menjadi tahanan kota oleh Kejaksaan Tinggi Sumbar. Ia tidak diamankan di balik jeruji besi oleh kepolisian di Padang.

Rum mengatakan, kewenangan penetapan seseorang bisa menjadi tahanan kota oleh Kejati Sumbar. “Itu materi pemeriksaan kita, kenapa bisa keluar dari kota ? Harusnya tetap di kota dan harus minta izin,” kata Rum.

Tidak periksa berkas perkara

Tak hanya itu, berdasarkan pengakuan salah satu pihak yang diperiksa Jamwas, terungkap bahwa jaksa penuntut umum tidak mencermati berkas perkara di tingkat penyidikan untuk dilimpahkan ke persidangan. “Berkas tersebut P21 dengan tidak memperhatikan atau kurang teliti apakah memenuhi syarat formil atau materil,” kata Rum.

Namun, belum disimpulkan apakah Farizal memang melanggar kode etik jaksa. Rum mengatakan bahwa pemeriksaan oleh jamwas belum final. Masih akan ada pemeriksaan beberapa orang untuk menguatkan indikasi pelanggaran etik itu. Jika Farizal terbukti melanggarnya, maka sanksi ringan hingga berat menanti. “Sanksi terberat kepegawaian ya ada. Dipecat bisa. Tapi Farizal belum kita tentukan karena pemeriksaan masih berlanjut,” kata Rum.

Irman Gusman diberhentikan

Badan Kehormatan (BK) DPD RI memutuskan untuk memberhentikan Irman Gusman ‎dari jabatan Ketua DPD RI. Keputusan itu diambil BK setelah menggelar rapat pleno dan mendengarkan masukan dari pakar hukum tata negara, Refly Harun dan Zain Badjeber.

“Kami menyimpulkan Saudara Irman Gusman diberhentikan dari jabatannya sebagai Ketua DPD RI. Irman telah melanggar etik setelah ditetapkan sebagai tersangka,” kata Ketua BK DPD, A M Fatwa, di Kompleks Parlemen, Jakarta, Senin (19/9).

Senator asal DKI Jakarta itu menuturkan, Irman melanggar pasal 52 tata tertib DPD RI No. 1 Tahun 2016. Dalam pasal 52 tatib DPD itu tercantum ketentuan yang berbunyi Ketua dan atau Wakil Ketua DPD diberhentikan apabila berstatus tersangka dalam perkara pidana.

Menurut Fatwa, pelanggaran etik yang dilakukan oleh Irman Gusman adalah penyalahgunaan jabatan dan juga mencederai lembaga yang terhormat. Dirinya pun meminta agar masyarakat bersikap adil dalam menyikapi persoalan yang menjerat Irman Gusman ini.

“Publik dalam melakukan penilaian terhadap lembaga kami agar bersikap adil, obyektif dan tidak berlebihan dalam menyikapi. Apa adanya saja,” tuturnya. (Tim) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com