Semua  

Sepi Yang Mencekam

Sepi Yang Mencekam

Sepasang tangan kekar merangkulku.

Aku tahu itu tangan papa. Dan…..terjadilah semuanya

 

MALAM ini langit mencurahkan hujan dengan derasnya. Sekali-sekali petir menyambar-nyambar diselingi guntur menggelegar. Semua ini menimbulkan suara musik tersendiri bagi telingaku. Dengan perlahan-lahan aku menjalankan kursi rodaku. Hujan telah membuat kaca rumahku di Jakarta tertutup titik-titik embun. Ketika angin berhembus agak kencang, air memerciki wajahku lewat sela-sela jendela. Sementara itu, lagu Sadis mengalun dengan lembut lewat lantunan Afgan. Entah siapa yang memutarnya ? Ah, aku merintih. Butiran-butiran air bening mengalir lewat mataku. Dadaku terasa semakin sesak. Kenapa lagi-lagi suasana seperti ini yang kujumpai ? Sepi yang mencekam ! Kurasakan bulu tengkukku meremang. Bagai sebuah slide, kejadian yang telah kualami terulang kembali.

Beberapa waktu yang lalu, di malam seperti ini, aku sendiri di rumah. Ah, ya, aku tidak sendiri. Ada papa yang menemaniku. Tapi, papa sedang asyik di kamar kerjanya.Sedangkan mama sedang pergi menemui kerabatnya. Untuk mengatasi rasa sepi, aku memasukkan CD lagu Sadis ke dalam cd playerku. Aku turut bersenandung mengikuti suara Afgan yang lembut. Tapi, keasyikanku tiba-tiba terusik. Sepasang tangan kekar merangkulku. Aku tahu itu tangan papa. ”Ah, papa bikin Rani kaget aja,” ujarku manja. ”Rani…..” Terdengar suara papa pelan. Lain dari biasanya. ”Rani….”. Sekali lagi suara papa terdengar agak mendesah. Kening Rani berkerut. Entah dari mana datangnya perasaan itu, naluriku tiba-tiba mengatakan ada yang tidak beres dengan papa. Lebih-lebih ketika tangan papa semakin erat merangkulku. ”Papa…..”. Belum sempat aku menyelesaikan ucapanku, papa telah menarikku ke dalam pelukannya. Aku berusaha melepaskan diri. Tapi, semakin aku berontak, semakin erat papa memelukku. Rupanya setan telah masuk dalam pikiran papa. Aku berusaha menjerit sekuat tenaga. Tapi, tak sempat, mulut papa keburu menyumbatnya. Dan…..terjadilah semuanya.

Sakit…sangat menyakitkan…!!! Milikku satu-satunya yang sangat berharga telah direnggut papaku sendiri. Ah, papa, benarkah itu papaku ?! Tidak ! Dia hanyalah laki-laki yang kupanggil papa semenjak papaku yang sesungguhnya meninggalkan aku dan mama. Papa kandungku pergi ketika usiaku baru lima tahun. Oh, mama. Inikah laki-laki yang selama ini kupanggil papa tempat aku berlindung ? Kejamnya dia, mama. Dia telah menghancurkan semuanya. ”Maafkan papa, Rani”. Hanya itu suara yang keluar dari mulut laki-laki itu. Aku hanya bisa menangis tertahan. Bisakah aku memaafkannya ? ”Rani, jangan ceritakan semua ini pada mamamu. Papa benar-benar menyesal. Ah, kenapa papa sampai melakukan ini padamu, Rani ?” Tapi, di mataku, aku sama sekali tidak menemui adanya penyesalan papa itu. Oh, jahanamnya dia ! Dendam kesumat seketika merasuki hatiku. ”Pakailah pakaianmu, Rani,” kali ini suara papa terdengar setengah merintih. Aku hanya menurut. Hampa…perasaanku sudah hampa. Entah apa lagi yang kumiliki sekarang ? Dan, anehnya, laki-laki itu sudah dapat bertindak-tanduk seperti biasa lagi, seolah-olah tidak pernah terjadi apa-apa. Dia ngeloyor masuk kembali ke kamar kerjanya. Sedangkan aku, oh, dengan cepat aku menghambur ke kamarku. Dan, semuanya jadi gelap.

Ketika aku sadar, ada papa dan mama di dekatku. ”Rani, kamu sakit, nak ? Wajahmu pucat. Ada apa denganmu sayang ?” suara mama terdengar lembut, membuat aku langsung menangis keras. Kupeluk mama kuat-kuat. ”Mama, jangan tinggalkan Rani, mama. Jangan pergi. Rani takut sendirian”. “Tidak, sayang.Tidak ada yang meninggalkanmu. Mama akan selalu di dekatmu. Ada apa denganmu, nak ? Tadi begitu mama pulang, mama tidak melihatmu. Mama menemuimu di sini dalam keadaan pingsan, kenapa sayang ? Sakit maagmu kambuh lagi ya ?” Lembut, lembut sekali suara itu. Haruskah aku menceritakan semua yang baru saja kualami pada mama ? Ah, tidak. Jelas mama akan hancur hatinya dan penyakit jantungnya akan kambuh. Aku tak ingin semua itu terjadi. Cukup aku saja yang tahu betapa busuknya laki-laki yang sekarang berdiri di dekat mama itu. ”Pa, tolong jagakan Rani, aku akan membuatkan susu panas untuknya”. ”Jangan, ma…jangan tinggalkan Rani sendirian”. ”Tidak, sayang. Bukankah ada papa yang akan menjaga kamu”. “Di sini saja, mama. Rani tidak butuh susu panas. Rani hanya butuh mama sekarang”. Dan, aku tidak ingin laki-laki itu ada di kamar ini. Dia iblis, bukan manusia ! Batinku.Tentu saja itu tidak kuucapkan. ”Baiklah, sayang. Malam ini mama akan tidur bersamamu, ok ?” Aku mengangguk. Mataku terpejam. ”Rani, papa rasa kamu tidak perlu tidur dengan mamamu. Kamu kan sudah besar, malu kan ?” papa mulai angkat bicara. Ih, jijiknya aku mendengar suara itu. Hah, tentunya laki-laki itu takut kalau aku akan bercerita pada mama.”Biar, pa. Rani nampaknya sangat membutuhkan aku saat ini,” ujar mama membelaku. ”Aku rasa pada saat-saat seperti ini dia justru membutuhkan kesendirian,” ujar papa lagi tidak mau kalah. ”Bukan begitu, Rani ?” Aku hanya mengangguk. Semaumu iblis ! Ada senyum kelegaan di bibir papa.

Jam weker di sampingku sudah menunjukkan jam dua dini hari. Betapa sulitnya aku memejamkan mata. Tuhan mimpikah aku ? Apa saja yang telah…..? Oh, tangisku meledak kembali. Perlukah mama tahu semuanya ? Ah, hatiku masih diliputi keraguan. Paginya aku tidak bisa bangun. Badanku terasa panas. Tentu saja mama kalang kabut. Sedang papa sudah sejak pagi pergi ke kantornya. ”Rani, mama panggilkan dokter, ya?” kata mama dengan cemas.”Jangan mama. Rani hanya demam sedikit kok. Sebentar lagi juga sembuh”. Padahal, sesungguhnya aku takut dokter akan tahu apa yang baru saja terjadi dengan diriku. Sebagai orang ahli medis tentu dokter itu akan tahu perubahan-perubahan pada diriku. Dan, mama pun pasti akan tahu. Padahal aku tak menginginkan semua itu. ”Tapi, badanmu semakin panas, sayang,” kata mama masih cemas. Aku tetap menggeleng. “Atau ,mama bikinin susu aja,ya ?” Rani mengangguk. Beberapa saat kemudian mama muncul dengan segelas susu panas di tangannya. ”Minumlah”. Aku hanya meminumnya sekali. ”Tinggalkan Rani sekarang, mama”. “Kamu tidak apa-apa kan ?” “Tidak mama”. “Kalau kamu perlu apa-apa, panggil mama, ya,” ujar mama sambil beranjak dari sisiku. Ah, mama. Aku malu dengan diri sendiri. Aku bukan Rani yang dulu, mama. Aku sudah kotor, mama. Bagaimana aku harus menceritakan semua ini pada Hendri, kekasihku. Ya, aku ingat Hendri yang sangat kucintai. Masihkah Hendri akan tetap menerimaku dengan segala cintanya ?

Sore hari, ketika aku selesai mandi, aku memandangi tubuhku di depan cermin. Inikah Rani ? Tiba-tiba di dalam cermin itu aku melihat tubuh bagian perutku membesar. Oh, benarkah aku hamil ? Tidak ! Tapi, itu memang diriku. Aku mengucek-ucek mataku.Hatiku menjadi lega ketika aku tahu bahwa ini hanya bayanganku saja. Tapi, kecemasan sekarang melanda hatiku. Bagaimana seandainya itu benar-benar terjadi ? Ah, tidak ! Jangan Tuhan ! ”Rani, ada temanmu yang datang,” suara mama tiba-tiba terdengar sambil mengetuk pintu. ”Ya, mama sebentar. Rani ganti pakaian dulu”. ”Halo, Rani,” sebuah suara telah menyambutku begitu aku memasuki ruang tamu. Hendri. Sekarang ada Hendri di hadapanku. Aku pun jadi tertegun.”Heh, kenapa ? Kok seperti melihat hantu yang aneh aja ?” tanya Hendri menggoda. ”Tidak.Tidak ada yang aneh kok Hen,” jawabku agak gugup. Aku memang merasa canggung sekarang. ”Duduklah, Hen”. Hendri meletakkan pantatnya di kursi. Matanya tidak lepas dari wajahku. Wajahku memang agak pucat. ”Kamu sakit ya Ran ?” Rani hanya menggeleng. ”Tapi, kenapa kamu nggak sekolah?” “Aku hanya pusing sedikit kok Hen,” jawabku berdusta.Tiba-tiba aku merasa tanganku dipegang. Aku pun terkejut. Tanganku ditarik dengan cepat. ”Rani….?” Hendri heran. Tidak biasanya aku begitu. “Kenapa, Rani ?” “Tidak…tidak apa-apa, Hen. Kamu pulanglah”. “Pulang….? Aku harus pulang, Rani ?” Hendri tidak mengerti dengan sikapku. ”Kamu marah padaku ya ?” “Tidak, Hen. Aku hanya ingin sendiri saja”. “Heran, memangnya ada apa sih, Ran ?” Hendri masih tidak mengerti. “Hen….,” kataku memohon. ”Ok. Baiklah nona yang aneh. Aku akan pulang segera,” ucap Hendri sambil beranjak dari kursi. ”Kamu besok masuk sekolah kan ?” “Ya, selamat sore, Hen”.

Setelah Hendri pergi, aku kembali termangu sendiri. ”Rani, Hendri sudah pulang ya ?” tanya mama yang tiba-tiba sudah berada di sebelahku. ”Kok tumben pulangnya cepat ?” Rani tetap diam. ”He, kok diam saja. Kalian sedang bertengkar ya ?” “Tidak mama”. Mama hanya menggeleng tidak habis mengerti kenapa anaknya sekarang menjadi diam seperti itu.

Suara mobil sedan memasuki rumah. Aku terkejut. Pasti papa yang datang. Aku intip melalui sela-sela gorden. Ah, ya benar, papa pulang. Aku tidak ingin melihat wajah papa. Betapa muaknya aku. Dengan cepat aku berlari masuk ke dalam kamarku. Di dalam kamar aku memasang telinga baik-baik.Terdengar suara pintu dibuka. Dan, selanjutnya, aku hanya mendengar suara samar-samar. Telingaku aku tutup bantal rapat-rapat. Aku tidak ingin mendengar suara papa. Aku benar-benar sudah sangat benci padanya. Sangat benci !

Esoknya, aku berjalan dengan perlahan sementara Hendri berjalan di sampingku berusaha mengimbangi langkahku yang kecil-kecil. Aneh benar gadis yang berjalan di sebelahnya sekarang, pikir Hendri waktu itu. Hendri tidak habis mengerti kenapa Rani selalu saja menghindar. Hendri telah berusaha mengoreksi dirinya. Setahunya ia belum pernah menyakiti gadis yang benar-benar sangat dicintainya itu. Heran. ”Hen….,” suaraku memanggil Hendri. Ah, betapa susahnya aku mau bicara. ”Aku rasa, aku….” “Katakan saja Rani, aku siap mendengarkan”. ”Hen, apakah kamu benar-benar mencintaiku ?” tanya Rani pelan. ”Hah, kenapa kamu tanyakan itu, Ran ?” “Tidak, Hen. Aku hanya ingin tahu saja kok”. “Kamu tidak percaya akan cintaku, Ran ?” Hendri balik bertanya. Oh, Hendri aku percaya. Sangat percaya Hendri, batinku. Justru karena aku tahu betapa cintamu padaku, Hen. Ingin rasanya aku mengatakan semua ini. Tapi, terasa sulit untuk dikeluarkan. ”Hen, maafkan aku. Sesungguhnya selama ini aku tidak bahagia bersamamu,” ucapku pelan. Oh, susahnya aku mengeluarkan kata-kata itu. Hendri bengong. ”Selama ini aku berusaha untuk mencintaimu tapi selalu saja gagal,” lanjutku semakin pelan. Tapi, bagi Hendri itu terdengar seperti suara bom yang meledak, persis di dekat telinganya. ”Apa Rani….?” muka Hendri merah seketika menahan marah. ”Jadi, selama ini, selama ini kamu telah menipuku Rani ?” tanya Hendri tidak percaya sambil mencengkeram bahu Rani keras-keras. Sakit, aku merasakan sakit akibat cengkeraman Hendri itu. Tapi, ada yang lebih sakit. Hatiku terasa amat sakit. Oh, Hendri tahukah kamu, aku sangat mencintaimu. Tiba-tiba aku terhuyung. Hendri telah mendorongku dengan keras. Seandainya saat itu tidak ada pohon di dekatku, tentu aku sudah jatuh tersungkur. Dan, Hendri berlari meninggalkanku. ”Hendri….!” suaraku terdengar keras menembus hujan yang tiba-tiba saja turun dengan deras seolah-olah turut merasakan betapa hatiku deras dengan kepedihan. Tanpa menghiraukan diriku, aku berusaha mengejar Hendri. ”Hendri….Tunggu, Hen…” Aku terus berlari mengejarnya. Jarak kami semakin dekat. Tapi, tiba-tiba saja aku melihat tubuh Hendri melayang di udara. Semua telah terjadi.

Pusara itu sudah sepi. Sementara aku masih saja termangu di situ. Mataku sembab. ”Hendri, hukuman apa yang harus kuterima untuk menebus dosa-dosaku padamu ? Hukumlah aku, Hen…” Tangisku mulai terdengar lagi. Sebuah tangan yang lembut memegang bahuku. ”Sudahlah, Rani, semua sudah terjadi. Tak usah disesali,” suara mama menghiburku. ”Tapi, ma….” “Pulanglah Rani. Biarkan dia tenang di sana,” papa tiba-tiba di dekatku. Darahku pun terasa mendidih. Dendam kesumatku pada laki-laki yang berdiri di depanku begitu hebat. Tanpa dapat dicegah, aku menubruk dan memukul-mukul papa kemudian pingsan.

Sejak kepergian Hendri, aku bertambah murung. Mama terus berusaha menghiburku. ”Rani, di Royal Theater ada film bagus lo, mau nonton ?” Rupanya ajakan mama kali ini berhasil. Aku mengangguk. Mama tersenyum senang. Sudah sering mama mengajakku menonton, tapi selalu saja aku tolak. Rupanya anaknya telah sadar tidak ada gunanya meratapi orang yang sudah pergi, mungkin begitu pikir mama saat itu. Sedang papa, entah pergi ke mana, aku hanya mendengar bahwa dia sedang sibuk di kantornya, jadi pulang agak malam. Di Royal Theater, aku antri membeli karcis. Aku mencari mama ke sana ke mari. Ah, rupanya mama telah menungguku di cafeteria. Dengan setengah berlari aku menghampirinya. ”Aduh, mama membuat Rani bingung mencari,” ujarku dengan gembira. Tapi, mama diam saja. Mama kelihatannya sedang memperhatikan sesuatu. Deg, jantungku terasa berhenti. Di sana dalam sebuah mobil aku melihat papa sedang bercumbu dengan wanita lain. Ya, itu papa. Oh, laki-laki jahanam ! Aku mengutuknya dengan geram. ”Ayo Rani kita masuk ke dalam,” ujar mama tiba-tiba. Di dalam gedung aku tidak bisa memusatkan perhatian pada layar film. Hatiku terlalu keras dengan dendam. Kulirik mama, aku tahu mama juga tidak sepenuhnya memperhatikan jalan cerita film itu. Pandangan matanya kosong, pasti, betapa luka hatinya. Oh, mama. Mama yang sangat kucintai. Hati kecilku berontak. Aku harus melakukan sesuatu untuk membalas sakit hati mama, juga sakit hatiku. Ah, aku ingat lagi dengan Hendri. Seandainya saja…..

Suasana rumah bagiku jadi semakin tidak enak. Papa semakin jarang di rumah. Mama semakin sendu wajahnya. Aku tahu semalam mama dan papa habis bertengkar. Oh, mama, seandainya mama tidak menikah lagi tentu akan lain jalan ceritanya. Akhirnya, penyakit mama kambuh lagi. Dengan mobil yang dikemudikan papa, aku pergi ke rumah sakit untuk menengok mama. Dalam perjalanan kami saling membisu, hubungan aku dan papa semakin kaku. Tiba-tiba muncul perasaan untuk melakukan sesuatu. Aku sudah tidak tahu lagi apa akibat semua ini bagi mama. Tanpa terkendali sama sekali semuanya harus terjadi. Aku hanya mendengar suara rem dan benturan yang keras, kemudian semua gelap.

Untuk kedua kalinya aku menghadapi pusara dalam jangka waktu yang relatif singkat. Hatiku puas. Dan, kali ini tidak ada air mata mengiringinya. Lunas sudah dendam kesumatku walau aku harus menebusnya dengan cacat seumur hidup. Kakiku harus diamputasi. ”Papa sudah pergi meninggalkan kita semua. Untuk ketiga kalinya kamu ditinggal orang-orang yang kamu cintai, sayang. Tabahkan hatimu ya sayang”. Aku hanya diam. Oh, tahukah mama bahwa aku tidak sedih dengan kematian papa. Aku malah merasa puas sekarang. Dan, tahukah mama bahwa papa meninggal bukan karena kecelakaan tapi akulah yang mencelakakannya. Ketika papa mengemudikan mobilnya, aku berusaha mengambil alih kemudinya ketika kulihat ada sebuah truk di depan. Dan, kulihat saat itu wajah papa begitu pucat ketakutan. Oh, puasnya aku mama. Aku tersenyum sinis sebagai seorang pembunuh papa. Mama mendorong kursi rodaku dengan pelan. Entah, sampai kapan aku harus merahasiakan semua ini pada mama ? Hanya kepada-Mu ya Tuhan aku pasrahkan jiwa dan ragaku, ampuni segala dosa-dosaku ya Tuhan … (Seperti dituturkan oleh Rani kepada Roy Pujianto)