SEKTOR industri Indonesia akan semakin terpukul akibat penurunan nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat yang didorong oleh krisis ekonomi Yunani, kata pengamat.
Kepala Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, I Kadek Dian Sutrisna Artha, mengatakan krisis ekonomi Yunani dalam jangka pendek akan memberi dampak terhadap pasar keuangan global, terutama nilai tukar euro terhadap dolar AS yang menurun. Konsekuensinya, dolar AS kian kuat di dunia.
Di Indonesia, penguatan dolar AS mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS melemah. Berdasarkan data Bank Indonesia, nilai tukar rupiah terhadap mata uang Amerika Serikat pada Senin (06/07) mencapai Rp 13.286 per 1 dolar AS.
Situasi itu, menurut Kadek, merugikan sektor riil Indonesia, terutama industri. “Sebab, bahan baku bahkan barang modal industri domestik banyak tergantung impor. Dengan terdepresiasinya rupiah terhadap dolar AS, mengimpor bahan baku akan semakin mahal,” kata Kadek.
Kenyataan ini, kata dia, sejalan dengan publikasi Badan Pusat Statistik pada Mei 2015 yang menyebutkan neraca perdagangan surplus dan pada saat bersamaan impor bahan baku dan barang modal mengalami penurunan.
“Neraca perdagangan surplus bukan berarti kinerja perekonomian membaik. Kelihatannya saja surplus, tapi belanja bahan baku impor untuk memproduksi barang ekspor menurun. Ini menunjukkan pelemahan dalam ekonomi domestik, terutama di sektor industri manufaktur,” kata Kadek.
Kondisi ekonomi
Kendati demikian, krisis ekonomi yang kini terjadi di Yunani diyakini tidak akan dialami Indonesia.
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden, ekonom Sri Adiningsih, mengatakan jumlah utang Indonesia dalam kategori aman, yaitu sekitar 30% persen dari Produk Domestik Bruto (PDB). Adapun rata-rata defisit Anggaran Belanja Pendapatan Nasional (ABPN) mencapai 2% dari PDB.
“Saya yakin, di Indonesia saat ini kita tidak seperti itu, jauh dari kondisi Yunani. Sistem perbankan kita lebih kuat, sehat. Ada kebijakan defisit APBN maksimum 3% dari PDB. Itu membuat pemerintah dipaksa bijaksana dalam mengelola APBN,” kata Sri kepada wartawan BBC Indonesia, Jerome Wirawan.
Utang luar negeri Yunani saat ini mencapai 360 miliar euro, atau sekitar Rp 5.345 triliun. Rasio utang terhadap PDB Yunani bahkan menembus 177%.
Namun, hasil referendum Yunani menunjukkan hampir 62% suara memilih ‘Tidak’. Adapun yang menyatakan “Ya” berjumlah 38%.
Referendum Minggu (05/07) sejatinya memberi pilihan kepada rakyat Yunani untuk menyetujui atau menolak proposal Troika, yang terdiri dari Komisi Eropa, Bank Sentral Eropa, dan Dana Moneter Internasional (IMF).
Proposal itu semula diajukan ke Perdana Menteri Yunani Alexis Tsipras untuk mengucurkan dana talangan sebesar 7,2 miliar euro atau setara dengan Rp 108 triliun. Namun, Tsipras menolak persyaratan pengucuran dana talangan karena menilai Troika memberikan persyaratan yang terlalu ketat. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com