Majalahfakta.id – Sudah sebulan lebih Pedagang Kaki Lima (PKL) eks Pasar Pelita di tujuh ruas jalan ditertibkan Pemkot Sukabumi. Upaya normalisasi di tujuh ruas jalan itu dilakukan untuk penataan kembali jalan dan trotoar menuju Pasar Modern Pelita. Namun, upaya penertiban PKL nampaknya belum sepenuhnya tuntas.
Berdasarkan pantauan di lapangan diantaranya di Jalan Perniagaan dan Jalan Kapten Harun Kabir, sejumlah PKL kembali mengisi ruas jalan tersebut. Sejumlah pedagang mengakui, perbuatannya tidak dibenarkan namun mereka tidak berdaya tatkala dihadapkan pada situasi penjualan yang kian hari merosot.
“Terus terang memang saya salah karena berjualan di jalan. Memang itu enggak boleh tapi mau bagaimana lagi untuk menghidupi anak istri. Sedangkan untuk mengambil unit di Pasar Modern Pelita bagi kami masyarakat menengah ke bawah masih terlalu berat,” ujar Deden Rustana (27) pedagang yang menjual pakaian wanita.
Warga Citamiang, Kota Sukabumi ini pun berharap ke pengelola Pasar Modern Pelita melalui Pemkot Sukabumi untuk memberikan kebijakan meringankan para PKL. “Sebenarnya kalau keinginan masuk ke Pasar Modern Pelita ada, tapi bagaimana terkait dengan uang muka. Seandainya uang mukanya murah mungkin akan kita usahakan,” harapnya.
Kendala serupa juga dialami Asep (50) warga Cisaat yang berdagang kaos kaki tepat di simpang empat menuju Pasar Modern Pelita dari arah Jalan Kapten Harun Kabir. Meski lebih beruntung dibandingkan Deden Rustana. Pedagang ini sudah memiliki satu stand di blok A lantai A. Namun, lapak miliknya yang berjarak tidak lebih 100 meter dari pintu masuk pasar Modern Pelita, terkesan lebih membawa hoki.
“Kondisi penjualan saat ini masih lesu, omzet per hari turun drastis hingga 70 persen. Bila kondisi ramai bisa mendapatkan sekira Rp 1 juta per hari, apabila sepi tidak lebih dari Rp 300 ribu,” ujar Asep.
Lebih lanjut ia mengungkapkan, akibat lesunya penjualan maka stand yang sudah dibelinya di Pasar Modern Pelita difungsikan untuk gudang. “Sementara ini yang jaga stand di dalam (Pasar Modern Pelita, Red) anak saya. Kalau menggantungkan berjualan di dalam kurang mencukupi kebutuhan karena sehari hanya bisa dapat Rp 30 ribu. Makanya bingung, belum ada solusi. Jadi sementara buat makan cari di luar saja, biarin muka hitam asal dagangan laku,” keluhnya.
Diakui Asep, para pedagang sudah diberi keringanan untuk pembayaran uang muka dari semula 30 persen kemudian diturunkan menjadi 20 persen. Namun ia menganggap pedagang masih terlalu berat menanggung itu. “Pedagang tetap memilih berjualan di luar pasar karena kendala besar yang dihadapi saat ini uangnya belum ada. Apalagi kondisi ekonomi seperti ini, dipaksa-paksa enggak ada,” bebernya.
Pedagang yang sudah berjualan selama 30 tahun ini berharap, ada kebijakan agar untuk sementara waktu dilakukan ujicoba berjualan di dalam pasar tanpa harus dibebani pembayaran uang muka. “Apabila dipaksain sih memang ada, namun dikhawatirkan nanti ke depannya memberatkan,” pungkas lelaki yang memiliki tiga anak. (R01)






