NAMA William Saito mulai dikenal ketika menjual I/O Software, perusahaan yang bergerak di bidang keamanan informasi dan biometrik, ke Microsoft.
Ia tidak bisa menjelaskan berapa uang yang dikeluarkan Microsoft, tapi dengan uang ini ia bisa pensiun dini.
“Saya sebenarnya ingin menjualnya, tapi jika orang seperti Bill Gates menawar dan ada tambahan satu angka nol di belakan cek, maka Anda akan berpikir, menjual perusahaan yang Anda rintis bukan keputusan yang buruk,” kata Saito.
Uang dari Microsoft mestinya sudah cukup untuk bisa hidup layak hingga ia berusia lanjut.
Tapi ia tetap bekerja keras, membantu para pengusaha muda, dan memperbesar tekad untuk mengubah budaya bisnis di Jepang yang telah berkembang selama beberapa dekade.
“Gagal adalah kata yang buruk di sini. Bagi saya, kata itu bukan tabu. Anda harus gagal untuk bisa mendapatkan yang berharga. Karena Anda gagal, Anda tahu kelemahan dan kekuatan Anda,” kata Saito.
Tak berani ambil risiko
Malu karena gagal membuat anak-anak muda takut terjun di dunia usaha, kata Saito. Ini kondisi yang buruk karena jika dibiarkan, Jepang akan sulit untuk tumbuh.
Selain itu, masih ada satu kebiasaan yang ia sebut mengekang “keberanian” anak-anak muda yaitu budaya menghormati orang tua.
Karena budaya ini, pengusaha-pengusaha muda tak berani ambil risiko.
“Menghormati yang lebih tua itu baik dalam beberapa hal, namun juga menghambat Anda untuk menjadi kreatif, inovatif, dan memikirkan hal yang ada di luar kotak,” katanya.
Inilah yang dicoba dilakukan oleh Saito. “Upaya ini masih berjalan, upaya saya belum selesai. Saya ingin orang-orang berani mengeluarkan seluruh potensi yang ada di dalam diri mereka,” katanya.
Saito lahir dan besar di Amerika Serikat namun merasa masih berutang ke Jepang karena merasa kesuksesannya saat ini tak lepas dari “warisan” yang ia peroleh dari Jepang.
Upayanya mengubah budaya bisnis orang Jepang adalah cara yang ia anggap pantas untuk membayar “utang tersebut”.
Sejak kecil orangtuanya memberi pelajaran ekstra, terutama matematika, berdasarkan buku-buku pelajaran yang mereka bawa dari Jepang.
Menulis program komputer
“Ini membawa keuntungan yang sangat besar bagi saya,” kenang Saito.
Ia sangat pandai di pelajaran matematika, sampai guru SD-nya di Amerika kehabisan materi pelajaran.
“Guru saya lantas meminta saya bermain-main dengan barang baru yang bernama komputer,” katanya.
Gurunya juga berhasil meyakinkan orangtua Saito untuk membeli komputer. Dari ini ia belajar menulis program atas bantuan teman gurunya yang bekerja di Bank Merrill Lynch.
Di usia yang sangat belia, 10 tahun, Saito belajar membuat program komputer.
“Saya menerima cek dari membuat program ini, sesuatu yang sebenarnya tidak pernah saya bayangkan. Tapi dari sini saya tersadar bahwa saya bisa mendapatkan uang dari menulis program komputer,” kata Saito.
Setelah menjual I/O Software, pada 2005 ia mendirikan perusahaan InTecur selain membantu pemerintah di bidang keamanan komputer dan internet.
Tapi tekad utamanya untuk mengubah budaya bisnis dan membantu wirausahawan muda di Jepang.
Sejauh ini ia telah menanam modal di 24 perusahaan, 14 di antaranya didirikan oleh pengusaha perempuan, yang ia katakan tak banyak mendapat kesempatan untuk terjun di dunia usaha. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com