Daerah  

Rencana Penerapan E-Parking dan Swastanisasi di Ponorogo, Tanpa Uji Petik dan Terkesan Tendensius

Rencana penerapan E-Parking yang digagas Bupati Ponorogo diharapkan sebuah kebijakan yang berdasarkan data dan fakta serta kajian yang jelas, tidak terburu-buru. (Inset : Hafidz Syarif Rusli, Advokat dari Firma Hukum Hammurabi dan Partner yang juga pengamat sosial.)

FAKTA – Bupati Ponorogo, Sugiri Sancoko mencium aroma “Premanisme” dalam tata kelola parkir di Ponorogo. Dugaan ini disampaikan Kang Giri, sapaan akrab Sugiri Sancoko, dalam Rapat Paripurna bersama DPRD dan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) terkait, Senin (15/05/2023).

Kang Giri menyampaikan gagasan untuk menerapkan E-Parking (Parkir Elektronik) untuk menyikapi fenomena tersebut.

Sekaligus mengantisipasi potensi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor parkir.

“Kita cari yang tidak bocor, omzetnya banyak, tidak dikendalikan preman dan tidak membebani jukir (juru parkir),” katanya.

“Jelas kemarin saya marah-marah, parkir membludak kayak gitu, realisasi ke PAD cuma Rp35 juta. Kita minta kinerja diteliti semua, dimana kebocorannya. Mari kita hijrah ke E-Parking,” pintanya.

Menurut Kang Giri, pelaksanaan parkir elektronik tersebut akan diserahkan kepada pihak ketiga atau swasta.

“Untuk E-Parking akan kita pihak ketigakan, biar kemudian jernih. Akan segera kita rapatkan,” ucapnya.

Meskipun penerapan parkir elektronik tersebut dinilai Bupati sebagai solusi tepat untuk mengatasi premanisme dan kebocoran PAD di Ponorogo.

Akan tetapi, masih perlu dikaji lebih lanjut tentang efektivitas serta dampak sosial pelaksanaan kebijakan tersebut.

Hal ini disampaikan Hafidz Syarif Rusli, Advokat dari Firma Hukum Hammurabi dan Partner yang juga pengamat sosial.

“Sejauh ini, rencana penerapan E-Parking atau parkir elektronik itu ada di Pasar Legi. Nggak tahu, apa sudah dilaksanakan apa belum. Seharusnya (penerapan parkir elektronik di Pasar Legi) itu bisa menjadi indikator keberhasilan sebelum dilaksanakan secara masif. Selain itu, kita juga bisa menilai penerapan e-tiket di Telaga Ngebel. Seberapa efektif penerapannya untuk mencegah kebocoran PAD?” jelasnya.

Hafidz mengungkapkan, kebijakan harus berdasarkan data dan fakta serta kajian yang jelas, tidak bisa terburu-buru.

“Jangan berspekulasi. Dalam hukum, asumsi tidak bisa dijadikan dasar pengambilan keputusan. Saya hanya takut, kebijakan e-parking ini dilatarbelakangi perebutan lahan oleh kelompok di balik kekuasaan. Saya harap bukan kasihan, mereka masyarakat kecil juga butuh hidup layak,” ungkapnya berempati.

Masih menurut Hafidz, pernyataan Bupati tentang swastanisasi parkir di Ponorogo juga kurang pas. Karena para jukir tersebut bukan berstatus pegawai negeri sipil ataupun aparatur sipil negara (PNS/ASN).

“Ya kan lucu, dari dulu jukir itu statusnya bukan ASN apalagi PNS. Terus statusnya mau diswastakan gimana?? Artinya kan ada peralihan ke perusahaan atau pemodal. Kalau begitu, kan motifnya jelas, kapitalis. Nggak tahu, sejak kapan partaine wong cilik jadi kapitalis,” katanya berkelakar.

“Tapi ya, kita ikuti saja dulu, sebenarnya (opini) ini mau digiring kemana,” pungkasnya. (hsr/pwd)