FAKTA – Rehabilitasi Ruang Terbuka Hijau (RTH) Cahaya Bumi Selamat (CBS) Martapura, yang diluncurkan penuh semangat dengan anggaran Rp8,099 miliar, berubah jadi ironi. Alih-alih menambah keindahan, publik justru disuguhi pemandangan pahit Icon Berlian simbol estetika taman kota rusak tertimpa batang pohon saat proses penebangan.
Pemerintah Kabupaten Banjar melalui Dinas Perumahan Rakyat, Kawasan Permukiman, dan Lingkungan Hidup (DPRKPLH) menjanjikan bahwa proyek ini akan menjadikan taman CBS sebagai ruang publik lebih segar, edukatif, dan aman. Namun, kejadian pada 24 September 2025 itu justru menegaskan rehabilitasi sering kali mengandung risiko kehilangan, bukan sekadar perbaikan.
Pohon Tumbang, Ikon Runtuh
Saat kontraktor CV Gajah Mada mulai bekerja sejak 28 Agustus 2025, deretan pohon besar di sekitar taman menjadi target. Narasinya akar-akar dianggap merusak drainase, jalur pedestrian, dan infrastruktur lain. Solusinya, pohon ditebang lalu diganti sepuluh bibit baru.
Namun, logika teknis itu berujung tragedi kecil salah satu batang yang ditebang justru menghantam Icon Berlian di Taman Pojok Manis. Bagian bangunan patah, rusak, dan memalukan. Padahal, Taman Pojok Manis baru saja selesai dikerjakan beberapa bulan sebelumnya.
Kepala DPRKPLH Banjar, Akhmad Bayhaqie, buru-buru memberi klarifikasi kerusakan di luar rencana, kontraktor wajib memperbaiki sesuai desain awal. Tapi di mata publik, luka itu sudah nyata bukan sekadar ikon yang patah, melainkan kredibilitas pembangunan yang runtuh.
Kritik Warga “Pohon Bukan Barang Ganti”
Di Martapura, suara warga menggema lebih keras ketimbang klaim teknis pejabat. Salah satunya Mahmudi, warga Martapura, yang dikenal rutin berolahraga di RTH CBS.
“Saya menyaksikan sendiri, pohon-pohon itu bukan sekadar batang kayu. Mereka tumbuh puluhan tahun, jadi kanopi alami yang membuat kita betah duduk, ngobrol, bahkan membuat para pedagang enak berjualan di sekitar taman. Kini, dengan alasan rehabilitasi, mereka menebangnya. Apa kita harus puas hanya dengan bibit kecil yang baru ditanam? Pohon bukan barang ganti, itu warisan,” keluh Mahmudi dengan nada getir.
Baginya, luka terbesar bukan hanya kerusakan Icon Berlian, melainkan hilangnya pepohonan yang butuh waktu generasi untuk tumbuh. “Taman ini kehilangan jiwa, seharusnya ini tidak terjadi bila pihak yang berwenang berkonsultasi dulu dengan warga,” ujarnya.
Data vs Realita Antara Anggaran dan Ekologi
Catatan proyek menyebut, rehabilitasi CBS mencakup
– perbaikan drainase ±247 meter,
– jalur pedestrian baru,
– penerangan dan instalasi listrik,
– penyediaan ruang edukasi lingkungan,
– serta penataan vegetasi.
Dengan kontrak 120 hari kalender, proyek ini wajib rampung akhir Desember 2025. Secara hitung-hitungan, biaya per meter drainase + pedestrian, plus estetika ikon, akan menelan puluhan juta rupiah tiap titik.
Namun pertanyaannya seberapa besar nilai pohon yang ditebang bisa dihitung dengan rupiah? Pohon tua memberi jasa ekologi sebagai peneduh, penyerap karbon, penyaring udara yang nilainya jauh di atas angka kontrak. Ganti dengan sepuluh bibit bukan solusi instan. Bibit butuh puluhan tahun untuk memberi fungsi ekologis serupa.
Politik Pembangunan “Asal Jadi, Asal Nampak”
Fenomena RTH CBS menyingkap pola lama pembangunan kota sering mengejar simbol, bukan substansi. Icon Berlian yang rusak adalah potret bagaimana estetika artifisial lebih dijaga ketimbang lanskap alami yang sudah terbentuk.
Warga Martapura pun merasakan kontradiksi itu. “Kalau hanya mengejar proyek, jelas hasilnya rapuh. Taman jadi pameran proyek, bukan lagi ruang hidup warga,” ujar seorang pedagang di sekitar area.
Kritik ini relevan, sebab sejak awal pendampingan proyek dilakukan Kejaksaan Negeri Banjar, publik menaruh harapan bahwa rehabilitasi akan lebih transparan, rapi, dan berorientasi kualitas. Namun insiden pohon tumbang yang merusak ikon seakan membuktikan pengawasan teknis masih lemah.
Jalan ke Depan Membangun dengan Nurani
Kini, kontraktor wajib memperbaiki kerusakan ikon. Tapi pekerjaan lebih besar menanti pemerintah mengembalikan kepercayaan publik. Taman bukan sekadar infrastruktur, melainkan ruang sosial, ekologi, dan budaya.
Jika pemerintah hanya mengukur dengan anggaran dan laporan proyek, maka CBS akan menjadi monumen “rehabilitasi setengah hati”. Sebaliknya, jika benar-benar memperhitungkan keseimbangan ekologi dan aspirasi warga, maka taman ini bisa hidup lagi sebagai paru-paru Martapura, bukan hanya brosur wisata.
(Stany)