FAKTA – Konflik agraria yang telah berlangsung puluhan tahun di Kota Batu, Jawa Timur, memasuki babak krusial. Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya pada Senin (13/10/2025) menggelar agenda Pemeriksaan Setempat (PS) di lokasi objek sengketa, Jalan Sawahan Bawah Gang II, Desa Beji, Kecamatan Junrejo. Sidang lapangan ini dilakukan untuk memverifikasi secara langsung kondisi fisik, batas, dan fakta-fakta terkait sengketa sertifikat hak milik (SHM) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) Kota Batu.
Agenda PS ini menjadi sorotan karena dilakukan untuk memverifikasi secara langsung kondisi fisik dan batas-batas lahan seluas 4.700 meter persegi yang diperkarakan, serta untuk menguji klaim penggugat.
Penggugat, Wiriyadi Noto, selaku ahli waris dan kuasa keluarga pewaris dari kakeknya pemilik tanah atas nama Temo alias Pak Markiyah, menggugat BPN setempat karena telah menerbitkan Sertifikat Hak Milik (SHM) Nomor 39 Tahun 1982 atas nama pihak lain.
“Objek tanah ini adalah milik keluarga kami. Kami menggugat BPN karena telah menerbitkan SHM Nomor 39 atas nama Haji Markasim / Yasim dengan luas 4.700 m2,” ujarnya.
Wiriyadi membeberkan bahwa sengketa bermula dari lahan milik Kakeknya tersebut, yang mulanya disewa pak Yasim selama 10 tahun sejak 1969. Setelah habis masa sewanya tanah tersebut bukannya dikembalikan, malah sertifikatkan oleh penyewa, dengan dalih bahwa tanah tersebut sudah dibelinya. Namun dalam persidangan pihak tergugat (BPN Kota Batu) belum memiliki bukti kuat terkait peralihan sepihak tersebut.
Lebih lanjut, Wiriyadi menekankan bahwa SHM Nomor 39 itu sudah memiliki riwayat hukum yang kelam.
“SHM nomor 39 atas nama Pak Yasim tersebut sudah ada putusan hukum bahwa proses pensertifikatannya dulu tidak sesuai prosedur dan melanggar hukum,” kata Wiriyadi. Ia merujuk pada serangkaian putusan inkracht, termasuk Putusan MA Nomor 624 PK/Pdt/2001, yang menyatakan SHM tersebut cacat hukum.
Pemeriksaan Setempat yang dipimpin tiga Majelis Hakim PTUN Surabaya berlangsung tegas. Dalam agenda ini, ditemukan adanya dugaan kejanggalan pada data sertifikat yang diterbitkan BPN.
Menurut Wiriyadi, terdapat perbedaan mencolok antara data tanah awal (Petok D 254) dengan SHM yang digugat, dari Petok D nomor 254 muncul nomor 1037, namun yang tercantum di SHM nomor 39 menjadi 1076. Tidak hanya nomor catatannya yang berbeda, luas tanah pun menyusut dari 4.700 meter persegi sesuai Petok, menjadi 4.200 meter persegi dari surat ukur di SHM tersebut.
“Makanya tadi di dalam sidang Pemeriksaan Setempat, BPN saya tanya seperti itu, mereka juga bingung,” ungkap Wiriyadi.
Pada kesempatan ini, Pihak Majelis Hakim juga menuntut pihak BPN Kota Batu untuk menyerahkan dokumen otentik Warkah (dokumen awal kepemilikan) terkait penerbitan sertifikat tersebut. Namun, perwakilan BPN dilokasi belum dapat memenuhi permintaan tersebut dengan alasan terkendala peralihan administrasi pada pemekaran wilayah dari Kabupaten Malang menjadi Kota Batu.
Dikonfirmasi terpisah, pihak BPN Kota Batu, melalui Kasi Sengketa Eko Haru Parwito, belum dapat memenuhi permintaan tersebut. Ia beralasan bahwa pihaknya terkendala peralihan administrasi akibat pemekaran wilayah dari Kabupaten Malang menjadi Kota Batu pada tahun 2001.
“Kalau pun ada hal-hal yang kurang pas dan belum bisa ditunjukkan karena proses peralihan, itu bisa dimaklumi. ” jelas Eko Haru Parwito, menegaskan kendala yang dialami BPN Batu kepada media pada Selasa (14/10/2025).
Sidang Pemeriksaan Setempat berjalan lancar dan akan dilanjutkan dengan sidang lanjutan di PTUN Surabaya pada 29 Oktober 2025, dengan agenda tambahan bukti surat dan keterangan saksi dari kedua pihak. Babak krusial ini diharapkan menjadi penentu akhir bagi konflik agraria yang mendera Kota Batu selama lebih dari 40 tahun. (Fur)






