Utama  

Ponorogo Kota PKL, Face Off HOS Cokroaminoto Dianggap Jadi Ancaman

Majalahfakta.id – Ponorogo satu diantara kota budaya juga disebut kota Reog, disebut kota yang penuh dengan PKL (Pedagang Kaki Lima), karena apa?? Di setiap sudut kota Ponorogo terlihat PKL selain melakukan kegiatan usaha dagang perorangan atau kelompok yang dalam menjalankan usahanya menggunakan tempat-tempat fasilitas umum, seperti trotoar, pinggir-pinggir jalan umum, dan lain sebagainya.

Tak ayal juga setelah pilihan Bupati usai terpilihlah pasangan yang fenomenal dengan program Ponorogo Hebat, Sugiri dan Lisdyarita, dengan program 100 hari langsung buat “euforia mercusuar” dengan face off jalan HOS Cokroaminoto, diubah menjadi Malioboro Ponorogo, hal yang luar biasa, sebagai tujuan center ekonomi kerakyatan, namun saat ini terlihat berbanding terbalik, karena belum ada kesepakatan antara Ketua Mekar Sore, para perkumpulan parkir, warga sekitar pembangunan Face Off HOS Cokroaminoto dengan Pemerintah.

Baca Juga : Gubernur Khofifah Apresiasi pada Wajib Pajak di Jatim

Pedagang Kaki Lima (PKL) merupakan sebuah potensi peluang usaha yang cukup menjanjikan terbukti dapat menggerakkan ekonomi rill masyarakat di tengah kondisi sulitnya mencari lapangan kerja dan pemutusan hubungan kerja (PHK) dan juga masa pandemi Covid-19 ini. Kenyataannya, permebedayaan PKL yang dilakukan pemerintah belum optimal karena peraturan daerah tentang pemberdayaan PKL  yang belum optimal, tumpang tindih Kebijakan Daerah dan kebijakan Pusat, apalagi belum kebijakan Bupati yang baru.

Pemerintah dibentuk bertujuan untuk menjaga ketertiban dan memberikan pelayanan kepada masyarakat. Pemerintah diadakan bukanlah untuk melayani dirinya sendiri, tetapi untuk melayani masyarakatnya. Tujuan Pemerintah Ponorogo Hebat dilakukan oleh Sugiri, tapi kalu hanya sebatas eforia terlalu memanjakan masyarakat yang selalu menagih janji Bupati terpilih akan menjadi sebuah blunder dari bupati terpilih.

Face off HOS Cokroaminoto dibangun dari dana bantuan ormas, Perseroan dan Lembaga lainnya,  atau bisa “Corporate Social Responsibility (CSR) tanpa APBD Kabupaten Ponorogo sama  sekali.  Saat “Face Off” dibangun tidak mengunakan APBD namun menggunakan dana dari CSR,  ketika Pembangunan “Face Off” sudah selesai 100 perseb akhirnya menambah aset milik Pemkab Ponorogo.

Namun demikian, aset seharusnya tercatat dengan jelas asal usul dari mana ?? Dengan nilai bangunannya berapa? Dibutuhkan transparasi, semisalnya dari Bank terkait bangunan dengan rincian “volume Bangunannya apa saja dengan nilainya rupiah berapa?”, demikian juga Bantuan dari pihak yang lain. Jadi kalau keterbukaan dan transparansi dalam  membangun Face Off HOS Cokroaminoto dimulai dari awal akan lebih bagus dan nyata, warga masyarakat Ponorogo harus tahu.

Baca Juga : Digagalkan Petugas, Upaya Penyelundupan Ganja Kering ke Lapas Kelas I Surabaya

Demikian juga saat selesainya Face Off HOS Cokroaminoto juga timbul ancaman bagi pengelola Pemkab Ponorogo akan bersinggungan dengan tata kelola berkelanjutan seperti : Pengelolaan UMKM PKL yang saat ini di sepanjang jalan dikuasai PKL Mekar Sore, perkumpulan parkir, dan juga warga sekitar yang terkena imbas pembangunan Face Off ini yang belum ada kesepakatan dan kesepahaman, akhirnya nanti bisa menjadi “Dusta Diantara Kita”.

Asumsi dalam melaksanakan pembinaan dan pemberdayaan penataan Pedagang Kaki Lima di wilayah Kabupaten Ponorogo Dinas Perindustrian Perdagangan Koperasi (Disperindagkop) dan Usaha Kecil Menengah (UKM) dituntut membuat suatu kebijakan yang benar-benar kondusif. Juga menjamin efektifitas sistem dan prosedur pengelolaan pemberdayaan Pedagang Kaki Lima di Kota Ponorogo. Sugiri pun harus tegas untuk menyikapi komunitas yang menagih janji.

Kalau toh, mementingkan suatu komunitas tidak akan masif, karena kebocoran dan kata lain program dijual ke orang lain, akhirnya menjadi tumpang tindih saling konflik dalam komunitas itu sendiri. Kadang komunitas menutupi kesalahan-kesalahan teman dalam komunitas itu sendiri, suatu pertanyaan yang besar apakah komunitas yang berlabel LSM, organisasi masa dan lainnya, apakah perlu ditiadakan atau tetap ada di Indonesia khususnya di Kabupaten Ponorogo.

Disinyalir dari sisi penyediaan anggaran relatif terbatas jika dibandingkan dengan luas wilayah yang ada juga mengakibatkan belum dapat dicapainya sasaran pelayanan secara maksimal. Kondisi ini diperberat dengan fokus dan sasaran yang berlainan dari masing-masing unit kerja yang terkait.

Baca Juga : Dugaan Kasus Penggelapan dan Penipuan di Ponorogo, Kuasa Hukum Geram

Jumlah Pedagang Kaki Lima yang tingkat pertumbuhannya cukup tinggi, serta kesenjangan tingkat pendidikan sangat mempengaruhi pola pikir dan kesadaran dari Pedagang Kaki Lima itu sendiri. Membuat waktu-waktu khusus untuk berjualan sehingga semua pedagang mendapat kesempatan berjualan tampaknya dapat menjadi solusi.

Saat ini integrasi masa dan pemerintah kadang membuat kekacauan dan konflik sebagai ancaman krisis kepercayaan, apalagi di Ponorogo saat ini. Kebablasan dalam eforia berimbas dalam dinamisasi pembangunan daerah Kabupaten Ponorogo. (Husen Efendi, Mantan Ketua HMI Cabang Ponorogo periode 2016 – 2017)