Utama  

Ponorogo di Ketiak Kolonial Devide et Empire dalam Sebuah Politik Ngasu

Oleh Moh Reza Anshori

Pengamatan Sosial Politik

“Apa tafsir dan makna sebuah gambar, makna dan tafsir itu bahasa Arab lho, bukan bahasa Jawa, Sunda, atau bahasa Nusantara lainnya”.
Apalah arti sebuah gambar dan lambang? Apa manfaatnya ? Yang paling terpenting isi, bukan bungkus luarnya!

Majalahfakta.id – Gelitik ‘’Bangsa Eropa kala itu datang ke Nusantara harus menerima kenyataan, bangsa ajaran Islam sudah ada di sini terlebih dahulu. Maka perlawanan kepada mereka pun muncul,’’ kata Budayawan dan Guru Besar Politik, DR Salim Said, dalam sebuah perbincangan di Taman Ismail Marzuki, beberpa tahun silam. Saat itu Salim menjabat sebagai Ketua Dewan Kesenian Jakarta (DKJ).

Di masa pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang nuansa sosial politiknya penuh nuansa diskriminatif rasial terhadap rakyat jajahan, bahkan menyamakan kaum bumi putra jajahan setara dengan Anjing atau Asu.

Di tempat-tempat keramaian seperti di setiap pintu masuk gedung bioskop, pintu masuk kolam renang, toko dan gedung kantor tertentu selalu tertulis “Verboden voor Inlanders en Honden” (Pribumi dan Asu dilarang masuk).

Untuk yang kurang akrab dengan narasi sejarah diskriminatif ngasu ini, mungkin bisa mendapat gambaran yang begitu jelas ketika menonton di scene-scene awal dalam film Bumi Manusia (2019) besutan Hanung Bramantyo.

Karena hal-hal diskriminatif “ngasu” inilah yang lalu membuat jengah para kaum muda pribumi terpelajar waktu itu, lantas mereka berkesadaran membuat organisasi demi organisasi dalam rangka persatuan dan perlawanan.

Spirit kaum muda terpelajar waktu itu dalam mendirikan organisasi demi organisasi jelas semata hanya dilandasi nurani yang berontak terhadap ketidakadilan dan pikiran yang begitu gandrung terhadap kesetaraan antar bangsa (manusia).

Sekalipun organisasi mereka seperti Sarekat Islam yang dalam idealismenya mengusung Pan-Islamisme (Islam Transnasional) atau Boedi Oetomo yang kental nuansa suku Kejawaannya, tetapi toh nyatanya mereka tidak berfokus pada unsur-unsur politik identitas (sektarian), gerakan-gerakan mereka lebih tercurah pada bagaimana melibas satu musuh utama mereka, yaitu bajingan tengik kolonial Belanda.

Sekilas membaca sepotong arsip sejarah pada masa kolonial itu dan membandingkannya dengan masa kini, rasa-rasanya organisasi demi organisasi yang didirikan di zaman ini kok malah banyak yang bersifat politik diskriminatif ngasu meniru kolonial Belanda itu.

Jika dahulu organisasi dagang VOC dan pemerintahan kompeni Belanda menerapkan politik identitas rasial seperti dalam pembuatan banyak plakat bertuliskan “Verboden voor Inlanders en Honden”.

Tidak peduli seorang pribumi itu cerdas, terpelajar, berkompeten, pribumi tetaplah pribumi yang selamanya setara dengan Asu.
Sementara tidak peduli orang Belanda Totok, Belanda Peranakan (Indo) itu bodoh, culas, kriminal, tak terpelajar, darah Eropa tetaplah darah Eropa yang selamanya akan tetap menjadi manusia berstatus hukum (kasta) tinggi di Hindia Belanda.

Lalu ironinya kebanyakan organisasi-organisasi modern di negeri ini corak pergerakannya sekarang kok tidak jauh berbeda dengan tengiknya Rasialisme Sosial penjajah Belanda, mereka sudah tanpa rasa malu lagi menunjukkan politik identitasnya yang begitu kental.

Maka yang bukan bagian dari se-organisasinya seakan dipandang sebagai Inlander atau Asu, yang tak pantas sekalipun hanya untuk dilirik.

Dan dari sini, yang namanya kepandaian, kecakapan, dan keterampilan dari seseorang seringkali terbentur dan kalah oleh politik identitas jaringan “orang dalam” (Baca: Komplotan nepotisme se-organisasi).

Tidak hanya organisasi dalam bentuk partai, sayap partai, organisasi mahasiswa, ormas keagamaan, bahkan sampai organisasi perguruan silat pun juga masif menjalankan strategi politik identitas semacam itu.

Mereka bernafsu besar merekrut sebanyak-banyaknya orang, terutama pembesar-pembesar pemerintahan hanya semata untuk membangun “oligarki organisasi”, jaringan “nepotisme golongan”, yang memudahkan anggota mereka menduduki jabatan-jabatan penting di suatu perusahaan atau pemerintahan.

Tidak peduli mereka orang berkompeten atau tidak, yang penting adalah separtaiku, sekaderku, seormasku, segolonganku, temanku, saudaraku, seorganisasiku.
Yah, falsafah “orang terpelajar harus berlaku adil sejak dalam pikiran, apalagi dalam perbuatan” sebagaimana dawuh mulia Bung Pram itu kiranya, ya kiranya memang belum atau bahkan mustahil bisa mengejawantah dalam batok kepala dan jiwa kaum terpelajar di negeriku ini.

Terutama ketika kaum yang mengaku terpelajar itu pun ternyata masih kental terselimuti oleh kabut diskriminatif ngasu bernama nepotisme golongan.
Apakah Politik Ngasu kolonial divede et empire di tanah Wengker/Ponorogo telah terjadi sampai sekarang ??

Kecerdasan tanpa kemerdekaan karena politik mengasukan diri kepada kolonial, itu terjadi sejak dulu sampai sekarang, di Ponorogo pun dalam kekuasaan sering terjadi dalam praktek berpolitik untuk kepentingan apa aja, bisa kekayaan, bisa legitimasi, kejayaan. Coba anda para pembaca perhatikan saat ini apakah benar??

Dibawah sepatu tirani orang kolonial zaman dulu sampai sekarang seperti orang kaya yang mampu memberikan kontribusi dan dana untuk kekuasaan dalam berkuasa.

Oleh karena itu, sampai saat ini masyarakat tertipu oleh penguasa yang ternyata mengasu pada kolonial dan penyumbang dana padahal penguasa itu “Munduk Munduk” kepada kolonial kapitalis dan penyumbang dana terbesar dengan konspirasi sembunyi. (*)