
POLISI Republik Indonesia (POLRI) sebagai pengayom, pelindung masyarakat dan penegak hukum. Sehubungan dengan hal itu Eko Purnomo, Wartawan Majalah FAKTA di Bojonegoro melaporkan hasil wawancaranya dengan Kapolsek Padangan, Kompol Singgih W, di ruang kerja kapolsek selama 15 menit seusai melaksanakan upacara HUT RI Ke-74.
“Dalam monografi kewilayahan Polsek Padangan terdapat 16 desa, berbatasan sebelah selatan dengan jajaran Polsek Ngraho (6 km), sebelah timur dengan Polsek Purwosari (3 km), sebelah utara dengan Polsek Kasiman (620 meter), sebelah barat berbatasan dengan Polsek Cepu, Polres Blora, Polda Jawa Tengah. Dengan bertugas di wilayah perbatasan yakni saling koordinasi, sinergi dengan polsek tetangga provinsi. Karena tugas polisi di mana pun sama, mekanisme (juknis dan juklak) sama. Karena sama-sama POLRI. Yakni, ujungnya harus bisa memberikan rasa aman dan nyaman pada masyarakat Indonesia, dalam hal ini Padangan kalau kita bicara lingkup jajaran Polsek Padangan,’’ jelas Kompol Singgih W.
Dalam melaksanakan tugas, lanjutnya, yakni mendengar, belajar mengetahui, memahami pemetaan hakekat kondisi wilayah sedini mungkin guna dilakukan pemetaan tentang potensi kerawanan yang menggangggu kamtibmas. Apakah daerah tersebut (desa A), rawan pemuda suka gelut/bertengkar, curat, curas, pembunuhan, curanmor, narkoba, perjudian ? Maka dilakukan pemetaan lebih dulu. Orientasi polisi meliputi berbagai aspek kehidupan masyarakat.
Adapun beberapa hal yang perlu diketahui tindakan polisi, yakni berbagai cara preventif, preentif dan represif. Penjabarannya, mencegah lebih baik daripada mengobati, yakni upaya/langkah yang dikatagorikan preventif adalah memberikan binmas, sambang desa, adaptasi sesuai karakter masyarakat. Termasuk patrol, minimal mencegah niat dan kesempatan bagi mereka yang berniat melakukan pelanggaran hukum.
“Dengan mengenal anatomi masyarakat, termasuk pemetaan wilayah, maka bisa tahu dan antipasi. Karena bisa jadi lain desa lain karakter. Sehingga untuk melakukan tindakan giat opsnal tentunya relevan menyambung pada mana sasaran sesuai peta,” papar Kompol Singgih W.
Sedangkan preentif, sambungnya, adalah giat yang mengarah pada daya tangkal yang mengarah pada perubahan mindset atau merupakan pola pikir. “Kita dekati agar yang tabiatnya kurang baik menjadi baik. Maka kita bicara dengan hati, kita bimbing, kita didik dengan hal yang positif. Preentif ini perlu karena secara rasio berapa perbandingannya ? Misalnya, Polsek Padangan berjumlah 25 personil termasuk kapolseknya, sedangkan jumlah warganya lebih dari 50.000 jiwa, berapa perbandingannya ? Maka pimpinan (Kapolres Bojonegoro) menerbitkan program PDD (Polisi Dulure Dhewe), untuk pendukung daya tangkal dan menjadikan situasi jadi kondusif. Sehingga tanpa tampaknya polisi, minimal mereka bisa menjadi polisinya untuk dirinya sendiri, polisi untuk keluarganya”.
Terakhir represif, lanjut kapolsek yang lama menjabat Kasat IPP Polres Bojonegoro ini, merupakan tindakan tegas pada pelanggar hukum, tak pandang bulu, bila ada yang melakukan tindak kejahatan agar ada efek jera.
“Perihal daerah perbatasan antar provinsi adalah koordinasi dengan polsek tetangga provinsi dan frekwensi patrolinya memang tidak sama, lebih sering melaksanakan patroli pada jam-jam yang tidak tertentu. Kuncinya, polisi harus mengantisipasi, mencegah dan hadir di tengah-tengah masyarakat. Selain koordinasi dengan polsek tetangga provinsi, tentunya lebih fokus mengamankan wilayah polres sendiri”.
Soal reward (penghargaan) dan punishment (sanksi) dalam bertugas, Kompol Singgih W mengatakan bahwa bentuk reward tidak berupa barang, karena bertugas sudah ada SOP.dan mekanismenya. (F.463)






