KEPOLISIAN Daerah Papua diminta segera menuntaskan penyelidikan insiden pembakaran kios dan mushala serta pembubaran shalat Idul Fitri di Tolikara, Papua, Jumat (17/07) lalu, sehingga dapat diketahui siapa pelaku dan akar masalahnya.
Penuntasan penyelidikan insiden ini diharapkan dapat mengurangi persepsi dan asumsi di masyarakat yang tidak sesuai kenyataan dan dikhawatirkan akan makin memperkeruh masalah.
“Konflik kemarin itu perlu suatu investigasi yang kredibel untuk mengungkap fakta apa yang terjadi di lapangan,” kata Neles Tebay, Rektor Sekolah Tinggi Filasafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur, Jayapura, kepada BBC Indonesia, Senin (20/07).
Polda Papua sejauh ini telah memeriksa lebih dari 20 orang saksi, tetapi belum menetapkan tersangka, kata juru bicaranya.
Di tempat terpisah, Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Abidin Bagir, mengkhawatirkan perdebatan di media sosial terkait insiden ini ‘dapat memicu konflik yang lebih besar’ jika dibiarkan berlarut-larut.
“Yang agak mengkhawatirkan di media sosial itu kan suka ada provokasi, yang (jika dibiarkan) bisa menjadi konflik lebih besar, yang tidak relevan dengan apa yang terjadi di Tolikara,” kata Zainal Abidin, Senin (20/07).
Sementara itu Menteri Dalam Negeri, Tjahja Kumolo, dilaporkan telah menuju Tolikara, sementara Komnas HAM akan mengirimkan timnya ke Kabupaten Tolikara, Papua, pada Selasa (21/07) guna menyelidiki insiden ini.
Sulit menentukan pelaku
Sampai Senin (20/07) sore, sebagian saksi yang diperiksa oleh Polda Papua adalah anggota jemaat mushala serta orang-orang yang berada di lokasi kejadian.
“Mereka diperiksa terkait dugaan pembakaran dan juga penyerangan (mushala),” kata juru bicara Polda Papua, Kombes Pol Patridge Renwarin, kepada BBC Indonesia.
Kepolisian Daerah Papua sejauh ini belum menetapkan tersangka dari insiden tersebut.
“Karena sangat sulit menentukan siapa pelakunya di antara ratusan orang tersebut. Karena kita harus identifikasi satu per satu, sehingga kita tahu siapa yang berbuat apa dan melakukan apa,” kata Patridge.
Pihaknya juga menghimbau agar masyarakat tidak terlalu cepat memberikan penilaian terkait latar belakang insiden di Tolikara.
“Kalau memang tidak mengetahui dari sumber yang benar, sebaiknya jangan memberi pernyataan yang membingungkan publik,” katanya.
“Biarlah aparat atau instansi terkait yang akan memberikan informasi yang sesuai fakta di lapangan,” tambah Patridge.
Membakar kios
Keterangan resmi kepolisian menyebutkan, insiden bermula ketika sekitar 150 orang mendatangi lokasi shalat Idul Fitri di Lapangan Koramil, Torikala, dan memerintahkan umat muslim segera membubarkan diri.
Sebelum massa mendatangi lokasi pelaksanaan shalat Idul Fitri, ada surat edaran dari Gereja Injili Di Indonesia (GIDI) yang mendesak umat muslim menggelar shalat Idul Fitri di dalam mushala dan tidak memakai pengeras suara.
Surat edaran itu dikemukakan sehubungan dengan kegiatan seminar dan kebaktian tingkat internasional GIDI dari 13 Juli hingga 19 Juli 2015.
Perintah pembubaran disertai dengan pelemparan batu. Selagi jemaah mundur, terdengar suara tembakan di dekat lokasi.
Demi mengamankan situasi, polisi menembak pelaku penyerangan yang dianggap tidak mengindahkan peringatan, sehingga salah seorang di antaranya meninggal dunia.
Massa yang marah kemudian membakar kios-kios dan api yang membesar kemudian turut melalap mushala di tengah kompleks kios yang terbuat dari kayu.
“Karena tidak terima, pemuda bakar kios dan itu merambat ke mushala, karena jaraknya dekat,” kata perwakilan pemuda, Oktovianus Pogau, kepada BBC Indonesia, Senin (20/07).
Namun kemudian, GIDI menyampaikan permohonan maaf kepada warga muslim di Indonesia atas pembakaran kios-kios yang menyebabkan mushala ikut terbakar.
Bukan konflik agama
Lebih lanjut Rektor Sekolah Tinggi Filasafat dan Teologi (STFT) Fajar Timur, Jayapura, Neles Tebay, mengatakan dirinya meyakini insiden di Tolikara bukanlah konflik agama.
“Karena orang Papua yang tinggal di Tolikara, juga seperti orang Papua lainnya, tidak punya tradisi atau pengalaman dalam menghadapi konflik antaragama,” kata Neles.
Dia mengatakan insiden di Tolikara itu tidak perlu terjadi kalau kedua pihak (umat Islam dan pengurus GIDI) “memiliki saling pengertian”.
Selama ini, menurutnya, hubungan agama warga Kristen dan Islam sangat baik. “Ketegangan itu pasti ada, tapi bisa dikendalikan,” kata Neles.
“Selama ini tidak pernah ada pembakaran masjid. Jangankan pembakaran, mengganggu masjid atau gereja tidak pernah terjadi di Papua,” katanya.
“Karena budaya Papua mengajarkan bahwa orang tidak boleh mengganggu apalagi membakar tempat-tempat yang dianggap keramat atau sakral, seperti gereja atau masjid,” paparnya lebih lanjut.
Cara pandang berbahaya
Sementara Direktur Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Zainal Abidin Bagir, menyayangkan adanya komentar yang menyebutkan insiden di Tolikara tidak terlepas dari pertarungan kelompok mayoritas nasrani dengan minoritas muslim.
“Kalau ini mau disebut pertarungan mayoritas-minoritas, itu terlalu menyederhanakan dan generalisasi yang keliru dan bahkan berbahaya,” kata Zainal Abidin.
“Sama juga di Jawa, ketika ada isu kelompok muslim menyerang gereja, tidak bisa diframe sebagai konflik mayoritas-minoritas, karena pelaku konflik itu (merupakan kelompok) minoritas di dalam agamanya sendiri,” jelasnya.
Menurutnya, insiden Tolikara tidak terlepas dari ketegangan yang sudah berlangsung lama di Papua akibat kebijakan politik, ekonomi, dan sosial serta kemungkinan agama yang kompleks. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com