Oncan Purba, “Masih Ada Harapan Bagi Pencari Keadilan”
BERAWAL dari langkah hukum Lusiana yang membuat laporan polisi perihal kasus penggelapan yang diduga dilakukan oleh Pemohon (Yuliawati). Sehingga pada 18 Agustus 2014 Yuliawati kemudian ditetapkan sebagai tersangka penipuan dan penggelapan. Tidak hanya itu, dirinya juga ditangkap dan ditahan, perkaranya berlanjut dan disidangkan di PN Bantul di mana oleh Termohon II (Kejari Bantul) dituntut hukuman penjara. Namun putusan majelis hakim mulai pengadilan tingkat pertama di PN Bantul hingga Mahkamah Agung memvonis yang bersangkutan bebas murni. Dari vonis bebas murni itulah dilakukan permohonan praperadilan yang ternyata memenangkan Pemohon.
“Putusan praperadilan ini tidak bisa dimintakan upaya hukum banding,” tegas hakim tunggal Zainal Arifin SH dalam sidang putusan praperadilan di PN Bantul, Selasa (1/8).
Menurut penuturan Oncan Purba SH yang dikenal sering melakukan langkah hukum praperadilan, bahkan hampir di semua wilayah hukum Polda D I Yogyakarta sudah pernah di-pra olehnya, selaku pengacara Yuliawati, dalam permohonan praperadilan kali ini bukan menyangkut proses/prosedur penangkapan dan penahanan namun menyangkut hukum yang diterapkan kepada kliennya. “Berangkat dari putusan bebas berarti ada yang salah dalam proses hukum terhadap klien kami, Yuliawati, oleh pihak kepolisian maupun kejaksaan. Atas kesalahan itulah kami kemudian mengajukan ganti rugi yang ternyata dikabulkan hakim,” tegasnya.
Terkait permohonan ganti rugi itu, papar Oncan, merujuk pada pasal 1 ayat 22, pasal 95 ayat 1, 4 dan 5 dan penjelasan umum poin 3 huruf d dalam UU No. 8 Tahun 1981 Tentang KUHAP. Dalam bukti yang diajukan berupa putusan majelis hakim PN Bantul dan MA telah membebaskan Yuliawati dari segala dakwaan. Maka, berdasarkan ketentuan hukum dalam KUHAP, terbukti secara hukum Yuliawati memiliki hak dan memiliki dasar secara hukum untuk menuntut ganti kerugian kepada para Termohon dan Turut Termohon.
Karenanya Termohon I sebagai penyidik di tingkat penyidikan dan Termohon II sebagai penuntut umum di tingkat penuntutan sebagai pihak yang terbukti bertanggung jawab dalam proses pidana dalam diri Pemohon. Kecuali itu Turut Termohon sebagai pihak yang diberikan tanggung jawab melakukan pembayaran atas ganti kerugian sebagaimana ketentuan pasal 11 PP No. 92 Tahun 2015 tentang perubahan kedua atas PP No. 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan KUHAP.
Sedangkan PN Bantul atau hakim pengadilan yang memutus perkara pidana atas diri Pemohon tak dapat ditarik sebagai pihak dalam perkara praperadilan. Hal ini sesuai Surat Edaran MA RI No. 09 Tahun 1976 perihal gugatan terhadap pengadilan dan hakim. Juga merujuk pada ketentuan pasal 95 ayat 4 KUHAP, hakim yang ditunjuk memeriksa dan memutus perkara tuntutan praperadilan ganti kerugian sejauh mungkin ditunjuk hakim yang telah mengadili perkara yang bersangkutan.
Salah satu poin penting putusan itu yakni Menteri Keuangan (Menkeu) RI selaku Turut Termohon dalam kasus ini diwajibkan membayar sebagian ganti rugi kepada Pemohon sebesar Rp 15 juta dari total yang dimohonkan senilai Rp 214 juta. Hal yang sama dibebankan kepada Termohon I, Kapolda DIY dan Termohon II, Kajari Bantul.
Tak pelak ekspresi gembira terlihat di wajah Pemohon didampingi tim pengacaranya yakni Oncan Purba SH, Willyam H Saragih SH dan FX Yoga Nugrahanto SH saat mendengar majelis hakim membacakan akhir putusannya yang menegaskan bahwa kepada Turut Termohon diwajibkan membayar ganti kerugian sebesar Rp 15 juta atas penangkapan, penahanan dan pengajuan ke persidangan terhadap diri Pemohon.
Hakim sependapat dengan pihak Pemohon bahwa perbuatan para Termohon telah melakukan tindakan sewenang-wenang terhadap Pemohon akibat kesalahan hukum yang diterapkan pada pemeriksaan pidana. Hal ini mengakibatkan kekeliruan maupun kesalahan terhadap penangkapan dan penahanan sampai diadili tanpa berdasarkan undang-undang. Karenanya dengan kesalahan para Termohon tersebut, Pemohon berhak menerima ganti kerugian.
Terkait hakim yang hanya mengabulkan sebagian dari permohonan ganti rugi, dikarenakan Pemohon tidak bisa membuktikan dalil-dalil kerugian yang diderita selama 107 hari menjalani penahanan badan. Seharusnya Pemohon bisa menghadirkan saksi atau bukti untuk memperkuat dalil akibat penahanan yang mengakibatkan kerugian materiil terhadap diri Pemohon sebesar Rp 214 juta.
Kepada Fajar Rianto dari FAKTA secara khusus Oncan Purba SH yang telah meniti karir menjadi pengacara sejak masih kuliah tingkat sarjana muda hukum pada tahun 1981 hingga sekarang menyatakan bahwa memang benar selama ini jarang ada keputusan praperadilan yang dimenangkan oleh pihak Pemohon.
Karenanya, lanjut alumni UGM yang pernah jadi Ketua Ikadin Sleman dan pernah pula menjabat Ketua Peradi Sleman, ini sebagai suatu tanda bahwa masih ada harapan bagi para pencari keadilan. Untuk itu pencari keadilan tidak perlu khawatir jika ada masalah apabila diajukan ke pengadilan. Begitu juga sebaliknya, masyarakat tidak boleh sembarangan melaporkan terhadap masalahnya yang ada, perlu kecermatan dan ketelitian menyangkut hukumnya, agar apa yang diperjuangkan secara hukum memiliki dasar dan pembenaran.
Oncan Purba juga berpendapat, keputusan pengadilan tersebut menunjukkan tanda lampu hijau dalam penegakan hukum, yaitu berani menjatuhkan putusan terhadap suatu kebenaran yang nyata dalam praperadilan ini. Sehingga hal ini bisa menggambarkan sebagai lambang kemajuan bagi pencari keadilan yang selama ini mungkin dianggap tidak adil.
Meski begitu, pesan Oncan Purba, sebelum memperjuangkan suatu kebenaran hukum melalui pengadilan maka kita harus menguasai masalahnya dan yang kedua harus menguasai tentang hukumnya. “Artinya, kita harus kuat untuk membuktikan kebenaran. Kalau tidak kuat membuktikan kebenarannya maka kita bisa kalah. Akibatnya jangan harap kita bisa untuk menang. Dan yang kedua, kita harus banyak belajar dan tidak pernah berhenti belajar, kita harus cerdik dan tulus menghadapi segala sesuatunya”.
Atas putusan tersebut, Oncan Purba SH mengaku cukup puas, serta segera melaporkan balik pelapor yang menjadikan kliennya ditahan. “Kami laporkan secara pidana dan segera mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) kepada pelapor. Kita berjalan memperjuangkan, bukan karena akan atau diberi jasa hukum, tapi karena kita terpanggil ada suatu kebenaran untuk diperjuangkan,” tegasnya menutup wawancara. (F.883)