Perangkat Desa Gugat Kades Di PTUN

Moh Ismun (duduk baju putih) bersama perangkat desa lainnya didampingi H Agung Supangkat SH MH.
Moh Ismun (duduk baju putih) bersama perangkat desa lainnya didampingi H Agung Supangkat SH MH.
Moh Ismun (duduk baju putih) bersama perangkat desa lainnya didampingi H Agung Supangkat SH MH.
Moh Ismun (duduk baju putih) bersama perangkat desa lainnya didampingi H Agung Supangkat SH MH.

PENGADILAN Tata Usaha Negara (PTUN) Surabaya dalam waktu dekat akan menyidangkan perkara gugatan dari perangkat desa bernama Mohammad Ismun (62).  Kakek ini menggugat Kepala Desa Bodor, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur, lantaran belum waktunya berhenti bekerja tetapi keburu diberhentikan oleh kadesnya.

“Gugatan sudah kami daftarkan, dan sudah mendapatkan panggilan sidang persiapan hari Senin, 29 Mei 2017,” kata H Agung Supangkat SH MH, kuasa hukum Moh Ismun sebagai penggugat.

Panitera PTUN Surabaya, H Amir SH MH, membenarkan bahwa gugatan itu sudah masuk dan baru pertama kali di tahun 2017 ada perangkat desa menggugat kadesnya.

Kronologinya, Moh Ismun, perangkat desa yang punya jabatan Jogoboyo, pada bulan Pebruari 2017 telah disodori surat bernomor 188/4/K/411.513.112/2017 tanggal 16 Pebruari 2017 oleh seorang kurir bernama Kusnadi atas perintah Kades Bodor, Kecamatan Pace, Kabupaten Nganjuk.

Surat Keputusan berkop “Pemerintah Kabupaten Nganjuk, Kecamatan Pace, Desa Bodor” dan ditandatangani oleh Sekdes Darmadi itu langsung dibaca oleh Moh Ismun dengan tangan gemetaran. Dan bagai mendengar petir di siang bolong, setelah membaca Surat Keputusan tersebut.

Betapa tidak, karena isinya memberhentikan Moh Ismun dengan hormat dari jabatan Perangkat Desa Bodor, yang berlaku sejak tanggal 16 Pebruari 2017.  Padahal, seperti yang terurai dalam gugatan setebal 9 halaman, seharusnya nanti pada tahun 2019 barulah Moh Ismun bebas tugas.

Dasarnya adalah pasal 118 ayat (1) Undang-Undang nomor 6 tahun 2014 juncto pasal 12 Peraturan Menteri Dalam Negeri nomor 83 tahun 2015 juncto Perda Nganjuk nomor 05 tahun 2008, yang menyebutkan masa jabatan Perangkat Desa adalah 64 tahun.

“Surat pemberhentian dari Kepala Desa terhadap Perangkat Desa tersebut batal demi hukum,” tandas H Agung Supangkat SH MH didampingi F M Frenkie Herdinnanto SH MH.
“Surat pemberhentian dari Kepala Desa terhadap Perangkat Desa tersebut batal demi hukum,” tandas H Agung Supangkat SH MH didampingi F M Frenkie Herdinnanto SH MH.

Bukan itu saja. Seharusnya, Kades Bodor (tergugat) memanggil penggugat ke kantor dan menjelaskan kenapa penggugat harus diberhentikan sebagai perangkat desa yang menjabat sebagai Jogoboyo. Ternyata penggugat tidak dipanggil, tidak menunjukkan surat asli pemberhentiannya. Surat keputusan yang bersifat rahasia itu malah diantar oleh kurir seperti disebutkan sebelumnya. “Itu merupakan kesewenang-wenangan dalam menggunakan jabatannya, bertentangan dengan pasal 24 Undang-Undang nomor 14 tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan UU nomor 25 tahun 2009 tentang Pelayanan Publik,” tandas Sujiono SH MH dari Posbakum Peradi PTUN Surabaya.

Oleh karenanya, penggugat dalam gugatannya mohon kepada Majelis Hakim di antaranya menyatakan batal demi hukum dan tidak sah surat keputusan nomor 188/4/K/411.513.112/2017 tanggal 16 Pebruari 2017, dan mencabutnya.

Seterusnya memerintahkan tergugat menerbitkan Surat Keputusan untuk mengangkat kembali penggugat sebagai Perangkat Desa Bodor/Jogoboyo, dengan hak-hak upah berupa Bengkok Sawah seluas 1.480 Ha. “Hendaknya putusan tersebut dapat dilaksanakan terlebih dahulu meskipun ada upaya verset, banding, kasasi maupun peninjauan kembali (PK),” kata Dyah Ermawatie SH dan Mamik Krustiningsih SE SH yang juga dari Posbakum Peradi di PTUN Surabaya. (Tim)