Utama  

Penganggaran Gedung Baru DPR ‘Tidak Transparan’

Gedung utama DPR dibangun pada 1966 sehingga, menurut pengamat, sudah tidak memenuhi dinamika politik DPR modern
Gedung utama DPR dibangun pada 1966 sehingga, menurut pengamat, sudah tidak memenuhi dinamika politik DPR modern

RAPAT pengesahan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2016, Jumat (29/10) lalu, menyatakan ada anggaran Rp 740 miliar untuk pembangunan gedung baru DPR RI meski kontroversi tentang rencana ini sudah berlangsung setidaknya sejak Agustus lalu.

Wakil Ketua Badan Urusan Rumah Tangga DPR RI, Dimyati Natakusumah, mengatakan, pengesahan anggaran tersebut berarti pembangunan gedung akan berjalan meski mungkin biayanya tak sampai Rp 740 miliar.

“Itu sudah teranggarkan, cair atau tidak itu nanti tergantung pelaksanaan. Sekarang begini, dianggarkan buat baju 1.000, yang dibuat (hanya) 100, yang dibayar ya 100. Atau tak jadi (membuat), ya tak dibayarkan, pembayaran itu berdasarkan business price, anggaran itu kan bukan lump sum,” kata Dimyati.

Saat ditanya soal kemungkinan keberatan dari masyarakat tentang rencana pembangunan gedung baru DPR ini, Dimyati mengatakan,”Masyarakat mana yang menolak ? Masyarakat itu kan diwakili oleh wakil rakyat, berdasarkan daerah pemilihannya masing-masing. Semua fraksi tidak ada yang menolak, bagaimana bisa dikatakan itu menolak ? Sekarang ini sudah disahkan, maunya apa ? APBN tidak disahkan ?”

Sekjen Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Yenny Soetrisno, mengatakan proses penganggaran pembangunan gedung baru DPR tidak transparan.

Salah satu contohnya, DPR sudah selesai menyelenggarakan sayembara desain gedung dan memutuskan pemenangnya pada Oktober lalu, padahal pengesahan anggaran baru terjadi pada akhir Oktober.

“Ada sayembara dan sudah menetapkan pemenang, ini sudah menyalahi aturan, karena pembahasan APBN belum disetujui. Proses ini seharusnya dilakukan setelah (ada) pembahasan, persetujuan, baru implementasi, baru memasang tender pengadaan barang dan jasa. Ini kan menyalahi aturan pengelolaan dan pengadaan barang dan jasa dalam APBN,” kata Yenny.

Gedung DPR harus menampung sekitar 500 orang anggota yang masing-masing membawa 5 hingga 7 staf
Gedung DPR harus menampung sekitar 500 orang anggota yang masing-masing membawa 5 hingga 7 staf

Ketika ditanya soal ini, Dimyati mengatakan, anggaran yang dipakai untuk melakukan sayembara adalah menggunakan APBN-Perubahan 2015.

Dia juga membantah bahwa proses pembahasan tidak transparan, karena,”Gimana tak transparan, itu kan diparipurnakan, dibahas di BURT, dibahas di kesekjenan DPR, dibahas bersama pemerintah, bagaimana bisa kalau tidak tahu, bagaimana cara mencari duitnya buat itu ?”

Yenny juga mengkritik jumlah Rp 740 miliar yang dianggarkan. Menurutnya, dengan ruang fiskal yang sempit, seharusnya ada prioritas terhadap program-program yang menyejahterakan rakyat.

Dia membandingkan anggaran pembangunan tersebut dengan anggaran penanganan gizi buruk untuk 4,1 juta penduduk Indonesia yang hanya mendapat Rp 299 miliar.

Gedung tua

Argumen soal kebutuhan gedung baru DPR selalu mengemuka dengan pertimbangan bahwa gedung yang ada saat ini sudah tidak bisa lagi menampung anggota DPR serta staf ahli mereka.

Biasanya setiap anggota rata-rata akan membawa lima sampai tujuh orang staf ahli.

Pengamat tata kota dan arsitektur Yayat Supriatna membenarkan bahwa infrastruktur gedung DPR sudah sangat sempit di tengah kepadatan yang tinggi.

Ruang sidang utama yang dibangun pada 1966 pun, menurut Yayat, juga perlu dicek apakah masih memenuhi standar keamanan dari sisi siaga menghadapi ancaman kebakaran.

Selain itu, desain gedung yang ada saat ini memang dalam pandangannya tak lagi mencerminkan dinamika politik DPR modern.

“Kondisi politik zaman Orde Baru tentu berbeda dengan kondisi reformasi seperti saat ini. Dulu parlemen tidak begitu maksimal, tapi sekarang dengan kekuatan anggaran dan politik demikian kuat, maka (gedung baru itu) wajar, dalam konteks perkembangan politik dan dengan usia bangunan yang sudah cukup lama,” kata Yayat.

Anggaran untuk gedung baru DPR pada tahun anggaran 2016 adalah Rp 740 mliliar
Anggaran untuk gedung baru DPR pada tahun anggaran 2016 adalah Rp 740 miliar

Maka kebutuhan ruang dan desain pun menurutnya harus betul-betul dikaji dan disesuaikan dengan visi parlemen ke depan. Namun, menurut Yayat, yang perlu menjadi catatan adalah selama ini kebutuhan angka Rp 740 miliar itu adalah versi parlemen.

“Kita tidak pernah mengundang audit atau konsultan independen atau konsultan publik atau dinamika publik. Selama ini versi besarnya ruang, versi besarnya uang selalu dari parlemen, tidak ada hitung-hitungan awal,” kata Yayat.

“Itu kan tidak dibuka ke publik. Tuntutan untuk membangun gedung, oke, tapi tuntutan untuk membangun gedung yang seperti apa ? Ya yang terbuka dan transparan. Jangan-jangan angka Rp 740 miliar itu kebutuhannya tidak sampai segitu,” ujarnya.

Dengan membuka proses tersebut ke publik, maka menurut Yayat, masyarakat bisa melihat siapa kontraktornya, penyedia furniturenya, atau aksesorisnya, atau pemegang subkontraknya, karena banyak yang terlibat di dalamnya.

Namun Yayat mengingatkan bahwa masyarakat akan selalu menuntut, apakah dengan ruang yang bagus, kinerja DPR juga akan maksimal ? (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com