
PEMERINTAH Indonesia akan memangkas sejumlah kewajiban bagi eksportir dan importir sebagai bagian dari upaya deregulasi yang masuk dalam paket kebijakan ekonomi tahap pertama Presiden Joko Widodo.
Menteri Koordinator Perekonomian RI, Darmin Nasution, mengatakan aturan yang dipangkas antara lain hambatan pemeriksaan bahan baku fisik dalam proses ekspor-impor.
“Pemerintah nantinya akan mengeluarkan 17 peraturan pemerintah, 11 peraturan presiden, 2 instruksi presiden, 96 peraturan menteri, dan 8 peraturan lainnya, terutama dari Badan Pengawas Obat dan Makanan serta Badan Koordinasi Penanaman Modal,” kata Darmin, dalam konferensi pers di Bandara Halim Perdanakusuma, Jakarta, Jumat (11/9).
Darmin menegaskan lagi upaya pemerintah untuk mengurangi hambatan bagi pelaku bisnis di lapangan, sehingga langkah-langkah penyederhanaan ini arahnya akan ke perluasan dan pembukaan peluang investasi.
Deregulasi peraturan di sektor ekspor dan impor ini antara lain mencakup pemberlakukan nomor tunggal identitas eksportir dan importir yang berlaku di semua instansi terkait.
Menteri Perdagangan, Thomas Lembong, menambahkan pemberlakuan satu nomor identitas ini artinya para pengusaha tidak harus mendaftarkan diri ke berbagai instansi berbeda seperti Kementerian Perdagangan, Kementerian Perindustrian, Bea Cukai, atau Kementerian Pertanian.
“Importir itu mendaftarkan diri sekali saja, atau dua kali saja, tidak perlu empat, lima kali nomor pengenal supaya meringankan pelaku usaha, ini upaya yang serius untuk profile sharing,” kata dia.
Lembong juga mengatakan pemeriksaan fisik bahan baku impor dan produk ekspor yang sering kali dilakukan oleh sejumlah instansi akan dipangkas menjadi satu kali saja.
“Misalnya dalam ekspor barang prekursor farmasi, eksportir dikenai kewajiban laporan survei, dan sering kali berganda, Bea Cukai sudah melakukan survei fisik, Mendag melakukan survei fisik lagi. Ini kan sebenarnya tidak perlu,” ujar Thomas.
Maka pemerintah akan mencabut kewajiban verifikasi surveyor dan pemeriksaan berulang kali, terutama untuk ekspor kayu, beras, prekursor farmasi, migas, bahan bakar, minyak sawit mentah, dan produk tambang hasil pengolahan pemurnian.
Meski sudah banyak perizinan yang prosesnya online, namun Thomas mengakui, pelaku bisnis sering terhambat oleh kewajiban tanda tangan tinta di atas kertas.
“Kemudian orang musti scan kertasnya ke PDF, terus diupload. Ini kan sebenarnya langkah tambahan yang menghambat dan menyulitkan. Kami pelajari ternyata sudah ada undang-undangnya yang namanya digital signature. Jadi orang bisa tanda tangan di atas tablet. Verifikasi digital itu sudah sah. Detil-detil implementasi, manajerial yang kami fokuskan supaya terasa di lapangan oleh pelaku,” katanya.
Biaya tinggi
Ketua Gabungan Pengusaha Ekspor Indonesia dan Ketua Umum Dewan Pemakai Jasa Angkutan Laut Indonesia (Depalindo), Toto Dirgantoro, mengapresiasi langkah pemerintah dalam upaya menyederhanakan prosedur ekspor.
“Jika hanya ada satu angka pengenalan eksportir atau agar pemeriksaan tidak lagi bertubi-tubi, ya bagus, tetapi selama ini untuk ekspor Kementerian Perdagangan juga tidak terlalu sering mengecek, Bea Cukai juga, kalau sudah masuk jalur hijau dan tidak ada risiko, ya nggak terlalu dicek. Jadi dari sisi itu, ya tidak terlalu menolong,” kata Toto kepada BBC Indonesia.
Yang lebih mereka harapkan sebenarnya adalah perbaikan mendasar dari sisi logistik, distribusi, dan infrastruktur pendukungnya. Contohnya, saat bahan baku masuk, ada biaya tinggi dari lamanya proses di pelabuhan, selain itu saat barang keluar dari pelabuhan dan diangkut, karena kondisi infrastruktur jalan yang tidak merata, maka ada biaya ekstra lagi, belum lagi pungutan-pungutan angkutan laut yang tidak terkendali dan tidak terawasi oleh pemerintah.
Kemudahan membubuhkan tanda tangan digital, menurut Toto, juga tidak menyumbang signifikan pada peningkatan ekspor Indonesia.
“Peningkatan ekspor kita ya itu tadi, biaya logistik, bunga perbankan, itu justru yang signifikan,” ujarnya. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com