FAKTA – Di kota yang terus tumbuh, kematian pun butuh tempat. Banjarbaru, kota yang dahulu dijuluki “penyangga Banjarmasin”, kini menghadapi persoalan yang diam-diam tumbuh seiring pesatnya urbanisasi yaitu ruang untuk pemakaman.
Dinas Perumahan dan Permukiman (Disperkim) mencatat, hingga 2025 terdapat 170 taman pemakaman bukan umum (TPBU) yang tersebar di berbagai kelurahan. Angka ini melonjak dari 151 lokasi pada 2021.
Lonjakan hampir 13 persen — dan ini bukan sekadar statistik. Ia cermin dari realitas: kota ini menua, dan mati pun butuh lahan.
“Setiap tahun kami terus mendata. Dulu 151, sekarang 170. Artinya, makin banyak masyarakat yang membuat pemakaman sendiri,” ujar Kepala Disperkim Banjarbaru, Ir. Abdussamad, yang akrab disapa Samad, saat ditemui di kantornya.
Perda Baru, Aturan Lama yang Dipertegas
Banjarbaru sebenarnya sudah lama tahu masalah ini akan datang. Lahan kian sempit, permukiman makin padat, dan pemakaman tumbuh tanpa arah. Kini, lewat Peraturan Daerah tentang Pengelolaan Pemakaman yang baru disahkan, Pemkot mencoba menata ulang situasi.
“Pemakaman baru nanti harus memenuhi syarat lahan minimal dua hektare dan lokasinya tidak boleh di kawasan padat penduduk,” jelas Samad.
Aturan ini sederhana di atas kertas. Tapi di lapangan, realitasnya tidak sesederhana itu. Banyak pemakaman keluarga atau komunitas keagamaan yang berdiri di atas lahan warisan jauh sebelum tata ruang kota dibentuk. Sebagian tanpa izin formal, sebagian lagi hanya “disepakati warga”.
Dengan perda baru, semua harus tertib administrasi. Tapi pertanyaannya, Apakah pemerintah kota siap menertibkan tradisi yang sudah berakar?
Dibalik Angka 170 Pemakaman, 170 Cerita
Setiap taman pemakaman bukan umum menyimpan cerita berbeda. Ada yang dikelola yayasan, ada yang milik keluarga besar, ada pula yang menjadi simbol identitas komunitas tertentu. Beberapa warga justru khawatir. Mereka takut perda baru ini kelak membuat biaya pemakaman jadi lebih mahal, atau mempersempit akses bagi masyarakat miskin.
“Kalau semua harus izin dan sesuai standar, nanti yang kecil-kecil bisa tertutup,” kata seorang pengurus TPBU di Landasan Ulin, yang enggan disebut namanya. Kekhawatiran itu bukan tanpa alasan. Ketika regulasi bertemu realita sosial, sering kali yang kalah adalah yang paling lemah.
Apakah kematian kini juga harus melalui birokrasi?
Pertanyaan ini menggema di ruang publik. Di satu sisi, aturan diperlukan agar tata ruang kota tak kacau. Namun di sisi lain, terlalu banyak aturan bisa mengasingkan warga dari hak paling mendasar yaitu tempat untuk dimakamkan dengan layak.
Harapan di Tengah Kepadatan
Samad menegaskan, perda ini bukan untuk menutup ruang, tapi menstandarkan pengelolaan.
Pemakaman yang sudah ada cukup mendaftar dan akan dibina. Hanya yang baru diwajibkan memenuhi syarat ketat.
“Kami ingin pemakaman itu tertib, terdata, dan punya standar. Nantinya detailnya diatur lewat Perwali,” jelasnya.
Jika visi ini berjalan baik, Banjarbaru bisa menjadi contoh kota yang berani menata ruang hidup dan ruang mati secara seimbang. Namun bila tidak, aturan ini bisa berubah menjadi sekadar teks hukum yang tak mampu menahan laju betonisasi kota.
Ruang untuk Mati di Kota yang Terlalu Hidup
Ketika ruang hidup menyempit, ruang mati pun ikut terdesak. Banjarbaru kini berdiri di persimpangan antara pertumbuhan kota dan penghormatan terakhir bagi warganya. Pemerintah boleh membuat perda, tapi masyarakatlah yang harus menanggung dampaknya. Dan seperti biasa yang paling terdampak adalah mereka yang tak punya cukup lahan, bahkan untuk sekadar beristirahat dengan tenang. (Stany)