Subanda: Itu Cibiran Kepada Negara
PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Buleleng yang digelar tahun 2017 menyedot perhatian banyak kalangan. Sebuah fenomena politik menarik yang terjadi adalah pilihan politik seorang penjual koran di Buleleng, Luh Made Marwati, yang nekat mendaftarkan diri sebagai calon Bupati Buleleng. Marwati memilih PDIP sebagai kendaraan politiknya. Perempuan berusia 42 tahun yang membuka lapak koran di kawasan Pasar Anyar, Jalan Diponegoro, Singaraja, ini telah mengambil formulir pendaftaran bakal calon bupati di Sekretariat DPC PDIP Buleleng, Rabu (17/2).
Pilihan politik perempuan asal Jalan Pulau Buton, Kelurahan Kampung Tinggi, Singaraja, ini mengejutkan publik. Sebab, bursa bakal calon kepala daerah biasanya hanya “milik” elit partai maupun kelompok masyarakat yang menyandang status sosial yang tinggi. Lantas, mengapa Marwati berani mendobrak kemapanan kelompok elit dalam perebutan tiket calon Bupati Buleleng ?
Berbagai pertimbangan yang dilontarkannya bermuara pada satu tujuan mulia, yakni mensejahterakan masyarakat Buleleng. Keputusannya untuk menjadi bakal calon Bupati Buleleng berangkat dari keprihatinannya sebagai masyarakat kecil. Perempuan yang sudah 18 tahun berjualan koran ini menilai, selama ini belum ada perubahan nyata untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat kecil atau wong cilik. Ia merasa jengah dengan kondisi yang ada di Buleleng.
Pengamat politik dari Universitas Pendikan Nasional (Undiknas) Denpasar, Dr Nyoman Subanda, mengatakan, kendati belum mengetahui motif utama pencalonan Marwati sebagai calon Bupati Buleleng, namun ada dua kemungkinan yang melatarbelakanginya. Pertama, ada kekuatan tertentu di balik pencalonan Marwati tersebut. Kendati tak menyebut secara spesifik kekuatan itu, namun ia menilai ada kepentingan politiknya dalam perhelatan Pilkada Buleleng.
Kedua, menurut Subanda, munculnya pedagang koran dalam bursa bakal calon Bupati Buleleng dinilainya sebagai tamparan keras kepada negara. Subanda mengatakan, pencalonan Marwati tersebut sebagai cibiran terhadap negara. Sebab, selama ini tidak ada formulasi baku dalam penjaringan calon kepala daerah. Setiap orang dengan latar belakang apa pun, dan tanpa kualifikasi apa pun, bebas mencalonkan diri menjadi kepala daerah.
Subanda menilai, pencalonan Marwati tidak secara khusus mencibir kinerja Bupati Buleleng selama ini, tapi mencibir institusi yang lebih besar, yaitu negara. Pasalnya, selama ini tidak ada formulasi baku dalam proses rekrutmen calon kepala daerah.
“Tidak ada aturan yang jelas, undang-undang. Tidak ada sistem rekrutmen calon kepala daerah. Selama ini tidak ada proses rekrutmen yang baik. Tidak ada saringan kualitas calon bupati. Prosesnya instan. Siapa saja boleh jadi calon bupati,” kata Subanda di Denpasar.
Menurut dia, penentuan calon kepala daerah seharusnya melalui tahapan proses yang baik. “Ada proses yang ketat, memperhatikan track record, ada uji publik. Juga mempertimbangkan dedikasi, loyalitas dan investasi sosial. “Jika tidak, besok ada pedagang es mendaftarkan diri jadi calon bupati. Ini cibiran terhadap negara, bukan kepada figur pemimpin,” katanya.
Ia menambahkan, ketiadaan formulasi baku dalam rekrutmen calon kepala daerah telah menghasilkan kepala daerah yang kualitasnya sangat memperihatinkan. “Figur bupati hasil pilkada saat ini ada yang tidak memiliki pengetahuan politik yang baik, tidak memiliki kemampuan leadership, tanpa visi dan misi yang jelas,” ktiriknya.
Ia melanjutkan, ketiadaan proses rekrutmen yang baik ditambah dengan fakta ada kepala daerah yang tidak memiliki kapasitas yang memadai, telah meruntuhkan kewibawaan jabatan kepala daerah tersebut. Akibatnya, masyarakat mengangap proses rekrutmen calan kepala daerah hanya formalitas tanpa saringan kualitas. “Padahal bupati itu jabatan terhormat. Simbol leadership. Tapi masyarakat sudah berpikir bahwa cukup modal nekat saja jadi bupati. Itu pelecehan terhadap institusi negara,” tegasnya.
Subanda menegaskan, pedagang koran itu tak bisa disalahkan. Sebaliknya, itu harus menjadi introspeksi bagi negara maupun partai politik. “Harus belajar dari fenomena itu. Harus membuat formulasi baku sistem rekrutmen calon kepala daerah, prosedur, struktur dan perilakunya. Itu intinya reformasi,” kata Subanda.
Dikonfirmasi terpisah, Ketua DPD PDIP Provinsi Bali, I Wayan Koster, membenarkan pernyataan Subanda. Ke depan, kata Koster, perlu ada aturan baku dalam rekrutmen calon kepala daerah. “Itu menjadi catatan untuk kita agar ke depan calon kepala daerah telah melewati proses seleksi ketat,” katanya.
Kendati demikian, terkait pencalonan Marwati melalui PDIP, Koster mengapresiasinya. Menurut dia, pencalonan Marwati itu menjadi indikasi jika PDIP mendapat tempat di hati masyarakat. Koster menegaskan, partainya membuka pintu bagi semua kader dan simpatisan, termasuk Marwati, untuk bersaing merebut tiket calon bupati dari PDIP. Soal siapa calon yang akan diusung, menurut dia, PDIP memiliki mekanisme dan kebijakan tersendiri. Hanya saja, Koster memberi sinyal jika partainya akan mengusung calon incumbent. “Sudah menjadi kebijakan DPP PDIP untuk memprioritaskan calon incumbent, agar mereka bisa menuntaskan program pembangunannya,” kata Koster. (Tim) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com