TREN peningkatan jumlah kasus serta angka kerugian negara akibat dari tindak pidana korupsi semakin mengkhawatirkan. Kasus korupsi merasuki semua sektor dan proses politik dinilai sebagai poros utamanya. Hal itu terungkap dalam dialog publik memperingatai Hari Anti Korupsi yang diselenggarakan Masyarakat Anti Korupsi (Mars) Sulsel dengan tema “Sulsel Lumbung Korupsi : Membedah Reproduksi Korupsi Di Sulsel” di Warkop Rumah Independen, Jalan Toddopuli VII, Makassar. Dialog bersama itu didukung FIK Ornop Sulsel, ACC Sulawesi, LAPAR Sulsel, LBH Makassar, PeRAK Institute, Walhi Sulsel, dan AJI Makassar.
“Semua dimulai dari proses politik. Kalau presiden, gubernur, bupati dan walikota disandera oleh parpol dan cukong politik maka dia tidak akan efektif bekerja,” kata Direktur Forum Komunikasi Organisasi Non Pemerintah (FIK Ornop) Sulsel, Asram Jaya.
Cukong yang dimaksud Asram adalah sponsor yang membiayai kampanye calon kepala daerah/wakil kepala daerah saat pilkada. Sponsor itu, kata dia, biasanya dari kalangan pengusaha/kontraktor yang pada akhirnya meminta timbal balik setelah kandidatnya memenangkan pilkada.
Parpol pengusung calon di pilkada tidak lepas dari mahar politik, begitu pun dengan proses verifikasi pengurus maupun penetapan daftar calon tetap (DCT) saat pemilu di parpol, dituding sarat dengan permainan uang. Tidak heran, lanjut dia, tiba-tiba muncul calon legislatif dari latar belakang pengusaha atau keluarga pejabat. Sedangkan kader yang sudah lama mengurus parpol tereliminasi dari DCT karena tidak punya uang.
“Harusnya parpol menyokong figur yang punya kredibilitas, tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Sekali lagi kita tidak berharap pada pemimpin yang disandera oleh parpol, disandera oleh cukong,” jelas Asram.
Asram juga bertanya-tanya banyaknya kepala daerah petahana yang diperiksa atau ditetapkan sebagai tersangka menjelang atau pada saat pilkada. Direktur Anti Coruption Committee (ACC) Sulsel, Wiwin Suwandi, pun menyoroti sejumlah pernyataan Kepala Kejaksaan Tinggi (Kejati) Sulselbar dalam beberapa kesempatan. “Kadang-kadang kita bertanya-tanya itu komentar sebagai seorang penegak hukum atau politisi ?” ujar Suwandi.
Banyaknya figur atau pejabat publik berlatar belakang politikus yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) semakin memperburuk citra parpol. “Parpol menjadi pintu masuk korupsi yang terjadi di masa yang akan datang. Kita lihat bagaimana intervensi politik terjadi di seluruh lembaga negara. Di KPK, 30% yang dipenjarakan punya latar belakang politikus,” ujar Direktur LAPAR Sulsel, Abdul Karim.
Karena itu, lanjut dia, pemberantasan korupsi akan berjalan efektif jika terlebih dahulu diawali dengan melakukan reformasi parpol. “Kami selalu usulkan, perlu ada reformasi parpol melawan penyelewengan anggaran negara. Karena itu verifikasi parpol untuk pemilu 2019 harus selektif,” jelas Karim.
Dalam dialog, Mers kembali menyoroti kasus-kasus korupsi di Sulsel yang belum terselesaikan, seperti kasus pembebasan lahan Bandara Hasanuddin tahun 2013 – 2015 dengan nilai kerugian Rp 318 milyar, kasus pembangunan laboratorium Teknik UNM tahun 2015, dan dana Bansos Sulsel 2008, reklamasi CPI, hingga SP3 kasus korupsi oleh Kejari Parepare. (Tim) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com / www.instagram.com/mdsnacks