NAMA Nurhadi akhir-akhir ini menjadi viral di medsos, juga menjadi berita di media televisi, setelah tersandung kasus korupsi dan ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK, lalu menghilang kemudian ditetapkan masuk dalam daftar nama pencarian orang atau DPO.
Menurut KUHAP seseorang dapat ditetapkan sebagai tersangka apabila seseorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana. Bukti permulaan dimaknai dengan adanya dua alat bukti yang sah dari 6 (enam) alat bukti yang sah sebagaimana disyaratkan dalam pasal 184 KUHAP. Oleh karena perkara ini tentang korupsi maka berlaku pula sebagai alat bukti yang sah adalah alat bukti yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu dan dokumen yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apa pun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka atau porforasi yang memiliki makna, sesuai UU Tipikor pasal 26 A.
Proses penyidikan Nurhadi dan penetapannya sebagai tersangka mengalami hambatan oleh ketidakhadirannya setelah dipanggil secara sah oleh KPK, yang berakhir dengan ditetapkannya sebagai tersangka. Apakah dengan demikian kasus ini menjadi berhenti sampai tertangkapnya Nurhadi sebagai DPO ? Kiranya tidak demikian, karena penyidik dengan telah menetapkan Nurhadi sebagai tersangka berarti telah menemukan bukti yang kuat untuk diajukan kepada Penuntut Umum sesuai pasal 107 KUHAP. Penuntut Umum setelah menerima hasil penyidikan dan berpendapat bahwa hasil penyidikan dapat dilakukan penuntutan dalam waktu secepatnya membuat surat dakwaan sesuai KUHAP pasal 140 ayat (1), dan segera melimpahkan perkara ke pengadilan negeri dengan permintaan agar segera mengadili perkara tersebut disertai dengan surat dakwaan sesuai KUHAP pasal 142.
Problematik hukum yang timbul adalah apakah KPK telah memanggil Nurhadi secara sah dan berturut-turut sebanyak 3 (tiga) kali ? Jika telah dilaksanakan panggilan secara sah, mengapa tidak segera diajukan kepada Penuntut Umum ? Apakah dengan menjadi DPO proses peradilannya juga terhenti ?
Peradilan Tanpa Kehadiran Terdakwa (In Absentia)
Dengan DPO-nya Nurhadi sebagai tersangka, tidak mengakibatkan terhenti kasusnya, melainkan dapat berlanjut hingga peradilan. Bilamana telah diajukan perkaranya ke pengadilan dengan statusnya sebagai terdakwa dan telah dipanggil secara sah tapi tidak hadir di sidang pengadilan tanpa alasan yang sah, maka perkaranya tetap dapat diperiksa dan diputus tanpa kehadiran terdakwa (in absentia) sesuai pasal 38 UU Tipikor.
Nurhadi Ditelan Bumi ?
Ketiadaan tesangka Nurhadi mengundang berbagai tuduhan, antara lain Nurhadi dilindungi oleh para elite yang akan dibongkar keterlibatan mereka oleh ‘nyanyian’ Nurhadi. Tuduhan ini ditujukan ke dalam ring Mahkamah Agung (MA). Apakah benar demikian ? Semoga dapat dijawab oleh rumput yang bergoyang.
Ketidakberdayaan KPK dalam menangkap Nurhadi dikaitkan pula dengan ketidakmampuan bertindak akibat pelemahan terhadap KPK atas perubahan undang-undang tentang KPK.
Tuduhan yang lain, Nurhadi disembunyikan oleh para kolega jejaringnya sebagai Sekretaris MA, yang menikmati hasil praktek mafia kasus-kasus perkara yang terjadi sampai pada tingkat kasasi.
Praperadilan
Yang makin menarik lagi dari kasus ini adalah sementra semua pihak berkutat dengan masalah DPO Nurhadi, tiba-tiba ada gugatan praperadilan dari tersangka Nurhadi, sebagaimana KUHAP pasal 77. Untuk dapat mengajukan praperadilan Penasehat Hukum harus mendapatkan surat kuasa dari tersangka, sementara tersangka Nurhadi tidak diketahui keberadaannya. Hal ini menjadi dugaan kuat dan atau patut diduga Penasehat Hukum mengetahui keberadaan tersangka Nurhadi yang berstatus DPO.
Dengan asumsi dan atau dugaan seperti itu maka KPK patut untuk mempertimbangkan penerapan UU Tipikor pasal 21 di mana setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara lansung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka atau terdakwa atau para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp 150.000.000,- (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,- (enam ratus juta rupiah).
Saran Dan Harapan
- KPK segera menyempurnakan berkas perkara penyidikan, dan
- Segera menyerahkan berkas perkara kepada Jaksa Penuntut Umum.
- Penuntut Umum segera melimpahkan berkas perkara ke pengadilan beserta surat dakwaan.
- Pengadilan segera meyidangkan dan memutus perkara ini tanpa kehadiran terdakwa.
- KPK segera menerapkan/menegakkan hukum UU Tipikor pasal 21.
Oleh :
Marthen H. Toelle, BcHk SH MH.
Praktisi








