NILAI tukar mata uang rupiah cenderung menurun belakangan bahkan selama enam bulan pertama tahun 2015 terdepresiasi sekitar 5-6%.
Dalam perdagangan Selasa (07/07), rupiah diperdagangkan di kisaran Rp 13.280 untuk US $ 1, yang melampui asumsi dari APBN Perubahan 2015 sebesar Rp 12.500 yang telah beberapa kali direvisi dari patokan sebelumnya Rp 11.900. Kurs itu oleh pengamat pasar uang Farial Anwar disebut tidak sehat.
Setidaknya dua faktor, eksternal dan internal, berkontribusi terhadap turunnya mata uang rupiah.
Staf khusus Kementerian Keuangan, Arif Budimanta, menyebut nilai rupiah turun karena mata uang dolar Amerika Serikat menguat di tengah peningkatan pertumbuhan ekonomi dan antisipasi kenaikan suku bunga di negara itu.
“Dan kita tahu fenomena super dolar itu tekanannya tidak hanya terjadi pada nilai tukar rupiah tetapi hampir kepada seluruh mata uang dunia, termasuk euro.”
Permintaan dolar
Yang juga mendasar adalah faktor internal walaupun selama ini pemerintah cenderung mengedepankan faktor penguatan dolar.
“Di dalam negerinya faktor neraca transaksi berjalan kita dari tahun ke tahun mengalami defisit. Yang kedua, neraca perdagangan kita beberapa tahun sebelum ini cenderung mengalami defisit, walaupun tahun ini sudah mulai positif. Tetapi bukan karena peningkatan ekspor, melainkan karena penurunan impor. Masalahnya, walaupun neraca perdagangannya positif tetapi devisanya tidak masuk di dalam negeri. Devisanya oleh para eksportir diparkir di luar,” jelas pengamat pasar uang Farial Anwar.
Ditambahkan oleh Farial Anwar, kondisi tersebut diperburuk oleh peningkatan permintaan dolar Amerika Serikat.
“Untuk impor dan yang kedua untuk membayar utang valuta asing karena sekarang hampir sebagian besar utang valuta asing sektor swasta yang totalnya US $ 167 miliar, sebagian besar tidak di-hedge (tidak dilindungi nilainya). Hanya sekitar 24% yang di-hedge. Sehingga mereka menjadi panik ketika dolarnya naik terjadi pembelian di pasar spot.”
Penyerapan anggaran
Di samping itu, lanjut Farial Anwar, pasar dan dunia usaha melihat ekonomi Indonesia bermasalah. Salah satu landasannya adalah penurunan pertumbuhan ekonomi dari target di atas 5% menjadi 4,7%.
Penurunan ini bisa dipahami sebab hingga kini pengeluaran pemerintah masih bermasalah. Kinerja belanja negara selama enam bulan tahun 2015 diperkirakan baru terserap 39% dari total alokasi anggaran Rp 1.984 triliun dalam APBNP.
Keadaan itu, menurut staf khusus Kementerian Keuangan, Arif Budimanta, berubah mulai pertengahan tahun ini setelah kementerian-kementerian rampung melakukan perombakan dan seluruh program ekonomi Presiden Joko Widodo ditampung dalam APBNP.
“Sekarang adalah waktu untuk melakukan proses take off (lepas landas) sehingga kemudian pada semester kedua yang sekarang sudah mulai berjalan sampai dengan akhir semester kedua, kita harapkan pertumbuhan ekonomi akan lebih baik lagi, bisa di kisaran 4,7%-5%,” jelasnya kepada BBC Indonesia.
Sementara rupiah masih merosot, para pedagang valuta asing tidak berani menumpuk dolar.
“Kita beli, kemudian jual, beli dan jual,” kata Ketua Asosiasi Pedagang Valuta Asing Bali, Ayu Astuti Dama.
Rupiah melemah, tempe dan tahu mahal
Hari menjelang sore, namun suasana kerja di sebuah pabrik tahu rumahan di kawasan Mampang, Jakarta Selatan, masih ramai.
Empat pegawai pabrik tahu tersebut bekerja dengan giat sembari mendengarkan musik.
Mereka mengolah tahu dengan ceria, meski sang pemilik pabrik, Sutarno, memiliki masalah pelik.
Harga kedelai yang terus meningkat membuat omzetnya menurun.
Menurut Sutarno, sebelum bulan puasa harga bahan dasar tahu yakni kedelai kurang dari Rp 700.000 untuk satu kuintal. Namun, sekarang satu kuintal kedelai dihargai Rp 710.000.
“Ya kita harus ngecilin ukuran tahunya. Kita kan gak bisa naikin harga, kayak naikin harga kedelai,” jelas Sutarno.
Menaikkan harga
Kenaikan harga juga dirasakan Andi, seorang penjual gorengan.
Namun, berbeda dengan Sutarno, Andi menaikkan harga tempe dan tahu goreng yang dia jual karena kenaikan harga bahan pangan pokok.
Langkah tersebut tidak selalu membuatnya mencetak untung.
“Ya untung-untungan. Kita nyari persentase aja antara modal dan penjualannya. Kitanya ngeluh, konsumen juga ngeluh,” ujar Andi.
Desain ekonomi
Tingginya bahan baku impor, seperti kedelai, merupakan imbas lemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat. Berdasarkan data Bank Indonesia pada Rabu (08/07) siang WIB, US $ 1 dihargai Rp 13.279.
Melemahnya nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat terjadi karena faktor ekonomi global dan juga situasi dalam negeri, ungkap ekonom dari INDEF, Sugiyono.
Agar hal ini tidak terus berlanjut, Sugiyono memiliki saran untuk pemerintah.
“Itu desain kebijakan ekonominya, kita maunya apa. Itu harus ditentukan,” kata Sugiyono.
Sugiyono memprediksi bahwa mata uang Indonesia tidak akan bisa membaik dalam waktu yang singkat. Namun, dia berpendapat masyarakat mampu mengelola keuangan mereka dan menghindari pengeluaran untuk kebutuhan yang kurang mendesak.
Namun menjelang Lebaran, tahu jelas menjadi salah satu kebutuhan penting, yang tanpa penurunan nilai rupiah pun biasanya harganya meningkat.
(BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com