FAKTA – Nuraini, yang hidupnya dibawah garis kemiskinan yang sehari-hari berjualan kecil-kecilan itu, harus menunda anaknya, Fernando, untuk menimba ilmu di Sekolah Menengah Pertama (SMP) Negeri 1 Batang Anai, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat.
Fernando siswa kelas VIII di SMP tersebut, terpaksa mengurungkan niatnya kembali ke sekolah lantaran tidak mampu membayar biaya daftar ulang yang ditetapkan sekolah.
Jumlah tersebut dirasa terlalu berat bagi orang tuanya, yang sehari-hari berjualan kecil-kecilan di Tanjuang Basuang, Padang Pariaman.
“Kesedihan dialami Fernando, ketika sekolah tempat ia menimba ilmu menginstruksikan, bagi siswa-siswi yang akan melakukan daftar ulang, siswa-siswi membayar biaya pendaftaran ulang sebesar Rp950.000. Informasi dari sekolah itu, lalu diceritakan Fernando,” ujar Nuraini.
Nuraini, yang hidupnya dibawah garis kemiskinan itu tidak mampu memenuhi keinginan sekolah tersebut. Sehingga anaknya tidak dapat melakukan daftar ulang.
“Nak..! urungkan dulu niatmu untuk melanjutkan pendidikan,” ketus Nuraini kepada anaknya.
Akibat keterbatasan ekonomi, pupus sudah masa depan Fernado dalam menimba ilmu. Hal ini dirasakan oleh Ibu Nuraini, Fernando harus menunda kembali ke sekolah lantaran tidak mampu membayar biaya daftar ulang.
Dengan wajah penuh keprihatinan, Nuraini mengungkapkan bahwa ia hanya mampu menyediakan Rp300 ribu, itupun hasil pinjaman.
“Saya sudah mohon agar bisa membayar dengan cara mencicil, tapi katanya harus lunas. Karena tidak bisa membayar, anak saya tidak bisa ikut daftar ulang,” ujarnya lirih.
Fernando, yang dikenal sebagai anak yang rajin dan bersemangat dalam belajar, kini hanya bisa tinggal di rumah membantu ibunya menjaga warung.
“Saat teman-temannya mulai masuk sekolah, dia cuma duduk di rumah. Saya tahu dia sedih, tapi dia pendam saja,” kata Nuraini dengan mata berkaca-kaca.
Nuraini juga mengaku bingung karena biaya yang diminta mencakup pengadaan beberapa jenis seragam, namun tanpa opsi pembayaran bertahap. Sementara penghasilannya yang tidak menentu membuatnya sulit memenuhi permintaan tersebut.
Kisah Fernando pun menyita perhatian publik. Banyak pihak mempertanyakan kebijakan sekolah negeri terkait biaya yang membebani orang tua siswa, mengingat pemerintah telah menjamin wajib belajar 12 tahun tanpa diskriminasi, sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2008.
Menanggapi hal ini, Plt Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Kabupaten Padang Pariaman, Dedi Spendri, memberikan klarifikasi. Ia menegaskan bahwa pengadaan seragam sekolah tidak bersifat wajib dan bukan menjadi syarat mutlak untuk mengikuti kegiatan belajar.
“Orang tua tidak diwajibkan membeli seragam dari sekolah. Jika siswa sudah punya sendiri, termasuk seragam lama atau lungsuran, itu boleh dipakai,” terang Dedi, Selasa (22/7/2025).
Ia juga menekankan bahwa siswa tetap berhak mengikuti proses pembelajaran meskipun belum membayar lunas biaya seragam.
“Tidak boleh ada siswa yang kehilangan hak pendidikannya hanya karena alasan teknis seperti ini. Pendidikan adalah hak semua anak,” tegasnya.
Dedi mengakui bahwa bisa saja terjadi miskomunikasi antara pihak sekolah dengan orang tua siswa, termasuk dalam kasus Fernando.
Namun, ia memastikan bahwa Fernando masih tercatat sebagai siswa aktif dalam sistem sekolah dan diberi kelonggaran dalam pembayaran biaya.
“Kalau orang tua tidak bisa membayar langsung, bisa dicicil sesuai kemampuan. Kami tidak ingin ada anak yang terpaksa putus sekolah hanya karena persoalan biaya seragam,” lanjutnya.
Dijelaskan, bahwa biaya Rp950.000 mencakup seragam olahraga, pramuka, muslim, batik, dan atribut sekolah. Namun semua itu bersifat opsional. Sementara itu, seragam nasional putih biru akan diberikan secara gratis oleh pemerintah.
Sebagai tindak lanjut, pihaknya telah menghubungi keluarga Fernando dan mempersilakannya kembali bersekolah seperti biasa.
“Kami sudah minta agar Fernando segera kembali ke sekolah dan mengikuti pelajaran. Soal biaya bisa diatur kemudian sesuai kemampuan orang tua,” ujar Dedi.
Terkait hal itu, Bupati Padang Pariaman, John Kenedy Azis, mengambil langkah tegas dengan mengumpulkan seluruh kepala SMP se-Padang Pariaman.
Pertemuan ini dimaksudkan sebagai bentuk konsolidasi menyeluruh dalam penyelenggaraan pendidikan di daerah ini, serta memperkuat komitmen bersama untuk menolak segala bentuk pungutan liar (pungli) di lingkungan sekolah.
“Terkait kejadian seorang anak tidak bisa sekolah karena tidak mampu membayar sejumlah uang yang diminta pihak sekolah. Alhamdulillah, hari ini masalah itu sudah selesai. Anak tersebut kini bisa kembali bersekolah, tanpa dipungut biaya apapun,” ujar Bupati, Selasa (22/7/2025) di Hal IKK Parik Malintang.
Dalam pertemuan tersebut, seluruh kepala sekolah menyatakan komitmennya untuk memajukan dunia pendidikan di daerah ini, menolak praktik pungli, dan bersinergi dengan pemerintah demi menciptakan masyarakat yang bahagia dan berkeadilan.
“Kita berdoa, mudah-mudahan ke depannya tidak ada lagi bau-bau pungli. Tidak ada lagi pungutan di sekolah,” tegasnya.
Bupati juga menekankan akan bertindak tegas terhadap kepala sekolah yang masih melakukan praktik pungli.
“Kalau saya mendengar ada lagi praktik seperti itu, saya akan copot kepala sekolahnya. Kita sudah berkomitmen untuk itu,” katanya.
Bupati turut meminta kepada kepala sekolah yang telah melakukan pungutan untuk segera mengembalikan uang tersebut kepada orang tua murid.
Ia juga mengingatkan tidak ada kewajiban bagi siswa untuk membeli seragam di sekolah. Pembelian seragam di luar diperbolehkan dan sekolah hanya diperkenankan memberi informasi tanpa unsur paksaan.
Selain itu, pemerintah daerah setempat juga telah merencanakan pemberian seragam gratis bagi siswa SD dan SMP. Saat ini, proses pendataan siswa secara lengkap (by name, by address) sedang dilakukan sebagai tahap awal sebelum penyaluran.
Untuk siswa yang belum memiliki seragam karena keterbatasan ekonomi, akan diberikan toleransi hingga seragam tersebut tersedia.
Dengan adanya penyelesaian ini, harapan Fernando untuk melanjutkan pendidikannya kembali terbuka. Kisahnya menjadi pelajaran berharga tentang pentingnya komunikasi yang terbuka dan kepedulian semua pihak terhadap akses pendidikan yang inklusif dan berkeadilan bagi setiap anak bangsa. (ss)