MENDUNG menggelayut di musim penghujan pada sore hari merupakan pemandangan yang membosankan. Hal itu bisa dipastikan hampir setiap hari terjadi. Kalau sudah demikian, cuaca menjadi redup seperti redupnya wajah Wuryanto di tanggal tua itu. Karena ekonominya yang pas-pasan menyebabkan dia yang perokok hanya membeli rokok eceran. Wajahnya yang redup semakin redup dengan datangnya surat dari adiknya yang ada di Madiun. Wuryanti, adiknya yang masih duduk di kelas dua SMA, memberitahukan bahwa ibunya yang sudah renta mendambakan kedatangannya. Pasalnya, meski tempat tinggalnya di Surabaya tidak begitu jauh dari rumah neneknya namun sudah hampir tiga bulan dia tidak pernah menjenguk ibunya yang sakit-sakitan. Uang pensiunan dari ayahandanya yang telah dua tahun meninggal dunia rasanya belum cukup untuk memenuhi rumah tangga ibunya yang masih dibebani oleh adiknya yang notabene masih membutuhkan biaya sekolah. Wuryanto yang hanya buruh pabrik tekstil di Surabaya hanya bisa membantu seadanya. Jangankan membantu, untuk digunakan mencukupi kehidupannya saja kadang-kadang masih minus.
Pikirannya yang kalut saat itu ditepisnya dengan isapan rokok ecerannya yang tinggal separo. Sementara suara gemericik hujan gerimis yang mulai tiba menambah hati kecilnya menjadi ciut. Dia belum bisa menemukan jalan keluarnya dari mana mencari uang untuk meringankan beban keluarganya yang ada di Madiun. Suara hingar-bingar radio dan tape recorder tetangganya yang hidup berhimpit-himpitan di kamar-kamar kos tak diindahkannya. Suara itu berbaur dengan celoteh anak-anak kecil putra-putranya para tetangga.
Beberapa menit kemudian dia dikejutkan oleh kedatangan temannya sekerja, Dirham, yang datang dengan mengendarai sepeda ontelnya. Dirham yang datang dengan tubuh basah kuyup oleh hujan yang menerpanya setelah memarkir sepedanya di depan kamar kos Wuryanto lalu lari berjingkat memasuki jerambah kamar Wuryanto.
“Wah, aku tak mengira sama sekali kalau di tengah jalan hujan turun. Padahal ketika berangkat dari rumah tadi cuacanya terang meski mendung di atas sudah mulai gelap. Perhitunganku jarak tempat tinggalku dengan tempat tinggalmu yang relatif dekat, hujan akan menunggu kedatanganku tatkala aku sudah datang ke rumahmu, Wur”.
Tahu hal itu Wuryanto hanya tersenyum sambil masuk ke dalam kamarnya. Tak lama kemudian dia sudah memberikan baju ganti kepada Dirham yang basah kuyup.
“Wur, nanti kalau hujannya sudah reda nonton wayang kulit yuk,” ajar Dirham seraya mengenakan baju pengganti yang diberikan Wuryanto.
Dirham dan Wuryanto memang teman akrab yang punya hobi sama, nonton wayang kulit. Makanya, begitu mendengar ajakan Dirham, wajah Wiryanto seketika cerah. Pikirannya yang terbebani faktor keluarganya pun seketika sirna. “Di mana tempatnya, Dir, dan siapa yang menyelenggarakannya ?”
“Katanya Pak Lurah Sepanjang yang punya hajatan bersih desa. Katanya mendatangkan dalang kondang dari Magetan, siapa lagi kalau bukan Mbah Amat. Lakonnya juga bagus yaitu Sesaji Raja Suya”.
“Wah … Lakonnya bagus dalangnya juga bagus. Kebetulan sekali hujannya sudah mulai reda,” Wuryanto bergegas masuk ke dalam kamarnya untuk ganti pakaian. Jam sembilan malam tepat mereka pun sama-sama berangkat dengan sepeda ontelnya mendatangi lokasi pertunjukan wayang kulit tersebut.
Ketika tiba di lokasi pertunjukan tidak begitu banyak orang yang menonton, mungkin terkendala dengan cuaca mendung disertai hujan rintik-rintik yang masih belum reda benar. Dengan demikian mereka dengan mudah mencari tempat yang enak untuk menonton wayang kulitnya. Namun, ketika adegan masih dalam penampilan Cangik dan Limbuk, Wuryanto kelihatan panik. “Wah … celaka Dir, aku tadi tergesa-gesa berangkat sampai lupa mengunci pintu kamarku. Aku kembali dulu saja ya Dir, aku akan ngebut dan segera kembali ke sini. Pesanku, kursi yang kutempati ini jangan sampai diberikan kepada orang lain lo Dir,” pesan Wuryanto segera bergegas meninggalkan Dirham yang tampak agak kecewa.
Lima meter sebelum sampai di tempat parkir sepedanya tiba-tiba Wuryanto dikejutkan oleh sebuah cahaya kecil yang gemerlapan. Cahaya itu menempel di stang sepedanya. Dengan jantung berdekat dia mendekati cahaya itu. Alangkah terkejutnya dia ketika diamati dengan seksama ternyata sinar itu asalnya hanya dari seekor belalang (kalau orang Jawa menamakannya dengan Walang Kadung). Belalang yang masih menempel di stang sepedanya itu seolah-olah menghipnotisnya. Dan, ketika hendak ditangkap tiba-tiba belalang yang bercahaya itu terbang hanya di seputar sepedanya. Setiap hendak diraih belalang itu selalu menghindar seolah-olah meledeknya. Ketika belalang itu terbang agak jauh Wuryanto bergegas menaiki sepedanya dan mengejarnya. Tapi, meski bagaimanapun juga kuatnya Wuryanto mengayuh sepedanya si belalang yang masih saja gemerlapan di kegelapan malam itu tetap saja tak terkejar. Celakanya, si belalang misterius itu tak bosan-bosannya meledek Wuryanto dengan terbang di sekitarnya.
Anehnya, selama dia mengejar belalang tersebut tak satu pun dia berpapasan dengan kendaraan apa pun. Selama mengejar belalang itu dia hanya merasakan suasana yang sepi dan temaram di malam hari. Kini dia tak tahu lagi ke mana arahnya dan ke mana perginya. Malam itu dia hanya berkonsentrasi untuk mendapatkan belalang yang terus menggoda yang jarak terbangnya tak jauh dari Wuryanto yang terus mengayuh sepedanya seolah tak ada rasa lelah sedikitpun. Hanya yang dia herankan, selama perjalanan dia merasa berhenti sebanyak tiga kali manakala belalang tersebut tiba-tiba menghilang entah ke mana. Dan, ketika dia setiap kali menghentikan sepedanya tiba-tiba saja muncul seorang nenek-nenek yang mendatanginya dengan membawa sebuah kendi berisi air minum yang kemudian memberikan kendi itu kepadanya. Setelah meminum air di kendi itu beberapa teguk tubuhnya merasa segar-bugar. Belum sempat mengucapkan terima kasih kepada nenek yang baik hati itu tiba-tiba si belalang bercahaya muncul lagi dengan terbang rendah di dekatnya disusul oleh lenyapnya si nenek tua. Wuryanto pun meneruskan pengembaraannya mengejar si belalang. Kejadian seperti itu berlangsung sampai tiga kali. Entah sudah berapa lama dia mengejar si belalang itu hingga akhirnya si belalang lenyap dan Wuryanto pun menghentikan pengejarannya. Dia merasa tidak percaya sama sekali kalau malam menjelang Subuh itu dia sudah berada di depan rumah ibunya di Madiun. Anehnya lagi, selama dalam perjalanan yang berbau misteri itu sama sekali Wuryanto tidak merasakan kelelahan. Wuryanto benar-benar tak habis pikir. Jadi, selama dia berjuang untuk mendapatkan belalang bercahaya tadi ternyata dia sudah menempuh perjalanan panjang dari Surabaya ke Madiun hanya dengan menggunakan sepeda ontel. Tidak tahu berapa jam yang ditempuhnya selama dalam perjalanan misteri itu. Seisi rumah seperti disambar geledek ketika Subuh yang masih diselimuti udara dingin di musim hujan yang mencekam itu Wuryanto tiba-tiba menampakkan batang hidungnya.
Wuryanto secara bergantian dipeluk ibunya dan adiknya, Dewi, yang sama sekali tidak menyangka akan kedatangan Wuryanto yang sangat didambakan. Siangnya semua keluarganya di Madiun gempar dengan kedatangan Wuryanto yang misterius itu.
“Oh, kalau begitu aku ingat dengan Kakek Brojo yang punya peternakan belalang banyak sekali. Semuanya tidak ada yang tahu mengapa Kakek Brojo menggemari belalang dalam jumlah yang sangat besar. Tetapi pada waktu Jepang menjajah Indonesia, belalang itu dilenyapkan oleh tentara Jepang karena dianggap menyebarkan penyakit. Selanjutnya, belalang yang sekian banyaknya itu diserahkan pemeliharaannya kepada abdi setianya yang bernama Patonah. Kalau begitu apakah belalang yang menggodamu itu adalah suruhan arwah Kakek Brojo untuk membawamu kemari ya Wur? Mungkin Kakek Brojo yang sudah di alam sana tahu akan keprihatinannya ibumu yang sangat mendambakan kedatanganmu Wur. Dan, nenek tua yang memberimu minum air kendi selama dalam perjalananmu itu mungkin arwah Patonah yang dengan setia memelihara belalang-belalang kelangenan kakekmu, si Mbah Brojo, Wur. Mudah-mudahan ceritaku ini benar adanya Wur”. Semua yang mendengar cerita Pakde Slamet, kakak ibu Wuryanto, hanya diam. Terutama Wuryanto yang mengalami sendiri pengalaman itu seolah hanya sebuah mimpi yang tidak bisa dipercaya. Pengalaman misterius yang dialami Wuryanto hampir 30 tahun lalu itu selalu melekat dalam ingatannya. Seolah tidak bisa dipercaya tapi nyata adanya. Allahu Akbar ! (VA Abhiramada)