FAKTA – Diduga merasa kebal hukum karena kedekatan dengan sejumlah pejabat lokal, seorang bos tambang emas ilegal menolak memberikan klarifikasi kepada wartawan terkait aktivitas penambangan liar yang dijalankannya.
Padahal, lebih dari 300 penambang ilegal disebut-sebut beroperasi di bawah naungannya di wilayah Kabupaten Musi Rawas Utara (Muratara), Sumatera Selatan.
Sumber terpercaya menyebutkan, bos tambang tersebut memiliki hubungan kekerabatan dengan Kepala Desa Tiku, Bahalisa, bahkan dikabarkan masih satu keluarga dengan Bupati Muratara.
Hal inilah yang diduga menjadi alasan dirinya bersikap arogan dan tidak merasa perlu menanggapi upaya konfirmasi media.
“Wajar saja kalau dia merasa kebal hukum. Dia itu saudara kepala desa dan dekat dengan Bupati. Makanya sombong dan tak peduli dengan dampak lingkungan,” ujar sumber yang juga merupakan korban dari aktivitas tambang tersebut.
Lebih lanjut, sumber tersebut menyampaikan kekhawatiran terkait pencemaran limbah merkuri yang berasal dari aktivitas tambang ilegal itu.
Limbah tersebut diduga mengalir ke sungai yang menjadi sumber utama kehidupan masyarakat sekitar.
“Banyak warga di sini yang mulai menderita gatal-gatal dan pembengkakan kulit. Ini semua akibat merkuri dari tambang itu. Kami hidup dari air sungai, tapi sekarang justru tercemar. Kami sudah layangkan pengaduan ke Gubernur. Tinggal tunggu tindak lanjutnya,” tegasnya.
Upaya konfirmasi kepada Senadi dilakukan media ini pada Senin, 7 Juli 2025, pukul 10.27 WIB melalui nomor pribadi 0822-1410-57XX.
Namun, hingga berita ini ditayangkan, pesan yang dikirim tidak mendapat balasan, meski terlihat sudah dibaca.
“Dia memang tidak pernah menggubris wartawan. Mungkin karena merasa ada yang melindunginya,” kata sumber lainnya.
Sementara itu, Kepala Dinas Pertambangan Provinsi Sumatera Selatan melalui Bagian Perizinan, Erik, menyatakan bahwa aktivitas tambang tersebut terindikasi ilegal.
“Itu diduga kuat merupakan aktivitas illegal mining. Untuk izin tambang rakyat belum bisa kami keluarkan karena belum ada penetapan Wilayah Pertambangan Rakyat (WPR),” jelas Erik kepada majalahfakta.id, Rabu, 9 Juli 2025.
Kasus ini mencerminkan lemahnya pengawasan serta dugaan kuat adanya praktik pembiaran yang melibatkan aktor-aktor lokal berpengaruh.
Masyarakat berharap agar aparat penegak hukum dan pemerintah provinsi segera turun tangan untuk menghentikan tambang ilegal yang merusak lingkungan dan mengancam kesehatan warga. (Laporan : ito || majalahfakta.id)






