FAKTA – Apakah Anda pernah mengalami kasus penghinaan di media sosial? Atau seringkah Anda diserang dengan kata-kata kasar, bahkan oleh pasangan? Jika iya, bagaimana cara Anda menghadapinya?
Kadang-kadang, kata-kata yang sengaja diucapkan untuk melukai dapat menyebabkan luka yang sulit sembuh dan trauma yang berlanjut. Bahkan tanpa teriak, kata-kata hinaan yang diucapkan dengan cara yang halus namun tajam dapat membuat seseorang merasa tidak berarti, terpuruk, dan meragukan nilai hidupnya. Ungkapan-ungkapan yang terus-menerus diucapkan dengan penindasan dalam kehidupan sehari-hari dapat merusak kemampuan seseorang untuk tetap kuat, membuatnya rentan, murung, dan menderita. Hal ini dikenal sebagai kekerasan verbal.
Kekerasan verbal bisa terjadi di mana saja, termasuk dalam hubungan yang seharusnya penuh dengan cinta dan kasih sayang. Kekerasan verbal dapat dilakukan oleh suami kepada istri, istri kepada suami, orang tua kepada anak, dan bahkan oleh pasangan yang sedang jatuh cinta. Dalam prakteknya, kekerasan verbal sering kali terjadi melalui teriakan, cacian, dan kata-kata yang melecehkan. Namun, kekerasan verbal juga bisa terjadi dengan cara yang lebih halus. Selain kata-kata kasar, pelaku kekerasan verbal sering menggunakan metode seperti “gaslighting”.
Gaslighting adalah bentuk manipulasi yang membuat korban meragukan kewarasannya sendiri. Ada juga pelaku kekerasan verbal yang melakukan tindakan tersebut tanpa diketahui oleh korban, sehingga korban menerima perlakuan tersebut tanpa menyadari bahwa itu adalah bentuk kekerasan. Pelaku kekerasan verbal bisa menggunakan berbagai cara. Selain kata-kata kasar, mereka sering kali mengoreksi setiap perkataan korban, menginterupsi, atau memberikan perlakuan dingin yang berkepanjangan. Semua ini dilakukan untuk mengendalikan korban. Kekerasan verbal merupakan bentuk awal dari kekerasan fisik, dan dalam beberapa kasus, kekerasan verbal dapat memiliki dampak yang lebih buruk daripada kekerasan fisik karena menyerang secara psikologis.
Banyak wanita yang menjadi korban kekerasan verbal, baik dalam hubungan pacaran maupun pernikahan. Di Amerika Serikat, satu dari tiga wanita mengalami kekerasan dari pasangan mereka, termasuk kekerasan verbal. Meskipun tidak ada angka yang pasti, wanita juga sering menjadi korban kekerasan verbal di Indonesia, baik di rumah oleh orang-orang terdekat maupun di tempat umum seperti jalanan, tempat kerja, dan dunia maya.
Terutama di dunia maya, terutama di media sosial, kekerasan verbal sering terjadi dan sulit untuk dicegah. Menurut survei yang dilakukan oleh Amnesty International dan dilansir oleh Geek pada tahun 2018, terdapat 1,1 juta cuitan di Twitter yang bersifat melecehkan atau kontroversial yang ditujukan kepada wanita. Rata-rata, setiap 30 detik, seorang wanita mengalami kekerasan verbal di Twitter.
Kekerasan verbal melibatkan aspek emosional ketika seseorang menggunakan kata-katanya untuk menyerang, mendominasi, mengejek, memanipulasi, melecehkan, dan mempengaruhi kesehatan mental orang lain. Ini bisa berupa menyalahkan, merendahkan, memberikan kritik yang kasar secara terus-menerus, atau mengancam untuk mengendalikan korban.
Kekerasan verbal sering terjadi dalam hubungan suami istri, dan tidak jarang wanita yang seharusnya dilindungi dan dirangkul justru menjadi korban kekerasan verbal. Banyak wanita memilih untuk bercerai dari pasangan mereka karena tidak mampu lagi menahan rasa sakit yang mereka alami, yang pada akhirnya berdampak pada kesehatan mental mereka.
Seseorang yang mengalami kekerasan verbal sebaiknya berani untuk menceritakan pengalaman tersebut kepada pasangan atau orang-orang terdekatnya agar dapat menanyakan maksud dan tujuan dari pelaku verbal abuse. Penting untuk berkomunikasi secara jujur dan terbuka dengan pasangan atau orang-orang terdekat tentang apa yang dirasakan dan dihadapi. Dengan mengungkapkan pengalaman tersebut, korban dapat menyadarkan pelaku bahwa perbuatannya berdampak buruk terhadap kesejahteraan psikologis mereka.
Apakah kekerasan verbal bisa dipidana? Menurut beberapa artikel dan pendapat sejumlah pakar hukum, tindakan kekerasan verbal memiliki potensi untuk dipidana. Hal ini didasarkan pada Pasal 5 UU TPKS (Tindak Pidana Kekerasan dalam Rumah Tangga), di mana pelecehan verbal dan pelecehan nonfisik lainnya dapat dipidana dengan pidana penjara maksimal 9 bulan dan/atau pidana denda maksimal Rp10 juta.
Korban kekerasan verbal dapat mencari keadilan dengan melaporkan kejadian tersebut kepada pihak-pihak terkait, seperti kepolisian, Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), serta Komnas Perempuan. Mereka dapat memberikan bantuan dan pelindungan kepada korban serta menindaklanjuti laporan tersebut sesuai dengan hukum yang berlaku. Penting untuk menghubungi lembaga-lembaga ini dan mendapatkan bantuan yang diperlukan untuk mendapatkan keadilan dan perlindungan. (Ria)






