PEMERINTAH Indonesia sudah menegaskan bahwa proyek pembangkit listrik 35.000 megawatt akan terus berjalan, namun pengamat mengatakan ada hal yang harus dicermati di balik sekadar perdebatan soal angka.
Presiden Joko Widodo mengumumkan rencana membangun pembangkit listrik baru di Indonesia dengan kapasitas 35.000 megawatt selama lima tahun ke depan.
Tetapi, pada Senin (07/09), Menteri Koordinator Maritim dan Sumber Daya, Rizal Ramli, mengatakan bahwa target program pembangkit listrik 35.000 MW akan turun menjadi 16.000 MW untuk lima tahun ke depan.
Kebijakan tersebut diambil Rizal usai rapat dengan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN), Ferry Mursyidan Baldan, dan Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basyir.
Rizal mengatakan,”35.000 MW itu tidak mungkin dicapai dalam lima tahun, 10 tahun bisalah. Kalau dibangun semuanya pun, dalam lima tahun, terjadi sampai 35.000 MW, PLN akan mengalami kapasitas lebih.”
Kapasitas lebih ini nantinya, menurut dia, akan membebani PLN karena sesuai perjanjian dengan pihak swasta maka PLN harus membayar kelebihan beban tersebut.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral, Sudirman Said, pada Rabu (09/09) malam bersama Menteri BUMN, Rini Soemarno, menggelar pertemuan dengan para pengusaha energi untuk meyakinkan bahwa pemerintah akan meneruskan proyek 35.000 megawatt tersebut.
Rencananya, PLN akan memasok sekitar 10.000 megawatt untuk proyek ini, dan sisanya, 25.000 akan dikerjakan oleh penyedia listrik independen atau pihak swasta.
Perhitungan
Juru kampanye iklim dan energi Greenpeace, Hindun Mulaika, pada BBC Indonesia mengatakan bahwa mereka belum melihat bagaimana perhitungan angka 35.000 megawatt itu keluar.
“Apakah kemudian 16.000 (megawatt) itu angka yang lebih pas ? Ya harus dibuka ke publik juga perhitungannya. Dan, baik itu 16.000 atau 35.000 (megawatt), harus dibuka juga, dengan PLTU-kah, dengan PLTA-kah, atau dengan mendorong energi terbarukan,” kata Hindun.
Hampir 63% dari 35.000 megawatt tersebut rencananya akan menggunakan pembangkit listrik tenaga uap yang kebanyakan dibangun di Pulau Jawa.
Artinya, menurut Hindun, sebagian besar dari target tersebut adalah untuk memenuhi kebutuhan listrik pulau Jawa dan Bali yang sebenarnya sudah hampir 90% mendapat listrik.
Dia melihat langkah ini sebagai upaya pemenuhan kebutuhan listrik untuk industri, tapi bukan untuk masyarakat yang sebenarnya lebih membutuhkan aliran listrik.
Jika target pemenuhan kebutuhan listrik diturunkan jadi 16.000 megawatt, maka Hindun melihat penurunan tersebut membuat angka lebih realistis dari sisi pencapaian proyek.
Meski begitu dia meminta pemerintah transparan soal kebutuhan listrik sebenarnya yang disesuaikan dengan pertumbuhan permintaan, dan apakah pemenuhan tersebut harus menggunakan PLTU.
Luar Jawa
Menurut Pius Ginting, Kepala Unit Kajian Walhi, di tengah ekonomi Indonesia yang sebenarnya mengalami perlambatan, maka permintaan listrik mungkin tak sebesar seperti yang direncanakan sebelumnya sehingga revisi angka sebenarnya mungkin terjadi.
Namun yang terpenting, Pulau Jawa mengalami surplus listrik 31%, sementara wilayah seperti Sumatera Utara dan Aceh sebenarnya mengalami minus listrik 9,3%.
Padahal, menurut penelitiannya, rencana PLTU yang akan dan tengah dibangun berlokasi di Cilacap, Batang, Jepara, dan Cirebon, yang semuanya berada di Pulau Jawa. Sehingga Pius belum melihat bagaimana rencana ini bisa memenuhi kebutuhan listrik warga di luar Pulau Jawa.
“Kalau pemerintah mau melibatkan swasta, swasta harus didorong untuk masuk ke energi terbarukan dan diprioritaskan untuk ke luar Pulau Jawa. Revisi angka itu masih cukup penting. Tapi energi listrik ini bukan dikendalikan oleh investasi, tapi pemerintah (yang) mengarahkan investasi (agar) ke luar Pulau Jawa. Jangan investor berebut pasar di Pulau Jawa yang sebenarnya sudah jenuh dan ekonomi yang mengalami perlambatan.”
Seorang warga Blangpidie, Aceh Barat Daya, Eva, mengatakan pada BBC Indonesia bahwa dalam sebulan, dia bisa mengalami setidaknya lima belas kali mati listrik. “Dalam seminggu ada tiga kali, empat kali, tapi kadang tidak juga,” katanya.
Warga Banda Aceh, Bakhtiar, juga menggambarkan kondisi layanan listrik di kotanya.
“Kondisi normal tanpa gangguan, kayak mati digilir. Sebulan, bisa 10-15 kali. Paling sedikit 30 menit mati lampu, ada yang sampai 6 jam atau 8 jam. Kawan-kawan di Lhokseumawe, malah lebih parah, bisa seharian mati lampunya, dari pagi sampai jam 8 malam baru hidup lagi.” (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com