Menaruh Asa Pada Komjen Anang Iskandar

Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar ditunjuk menjadi Kepala Bareskrim Polri menggantikan Komjen Pol Budi Waseso
Kepala BNN Komjen Pol Anang Iskandar ditunjuk menjadi Kepala Bareskrim Polri menggantikan Komjen Pol Budi Waseso

KEPALA Badan Narkotika Nasional Komjen Anang Iskandar ditunjuk menjadi Kepala Badan Reserse Kriminal Polri. Penunjukan ini disampaikan oleh Kepala Polri Jenderal Badrodin Haiti. Sementara itu, Komjen Budi Waseso (Buwas), yang saat ini memimpin Bareskrim Polri, mengisi posisi Kepala BNN yang ditinggalkan Anang.

“Ya benar, Pak Anang (Kepala) BNN tukar posisi dengan Kabareskrim,” ucap Badrodin dalam pesan singkatnya, Kamis (3/9/2015) malam.

Baik Buwas maupun Anang belum dapat dimintai komentar terkait hal ini.

Anang adalah lulusan Akademi Polisi 1982, sementara Buwas lulusan tahun 1985.

Terkait penunjukan ini, Kepala Humas BNN Kombes Slamet Priabdi mengaku belum mendapat informasi.

“Saya belum dapat informasi itu, Humas belum dapat info. Pak Anang sendiri saat ini masih dalam perjalanan pulang usai Dinas dari Fiji ke Indonesia,” ujar Slamet.

Kegaduhan dan Kegaduhan

Jabatan adalah amanah yang suatu saat bisa datang, bisa pula pergi
Jabatan adalah amanah yang suatu saat bisa datang, bisa pula pergi

Kabar pencopotan Kepala Badan Reserse dan Kriminal Komisaris Jenderal Budi Waseso akhirnya terjawab. Kepala Kepolisian RI Jenderal Badrodin Haiti, pada Kamis (3/9/2015) malam, memastikan ada pergeseran posisi antara Budi dan Kepala Badan Narkotika Nasional Komjen Anang Iskandar. Budi menjadi Kepala BNN, sementara Anang akan menggantikannya sebagai Kabareskrim.

“Sas-sus” soal pencopotan Budi berawal dari pernyataan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Luhut Binsar Panjaitan, Selasa (1/9/2015), yang menyebutkan akan ada pejabat yang dicopot karena sering membuat gaduh sehingga berdampak pada kondisi ekonomi. Meski tak menyebut siapa yang dimaksud, dugaan langsung mengarah pada sosok Budi Waseso.

Apalagi, salah satu pejabat teras Istana, membenarkan akan ada pergantian pejabat pada posisi Kabareskrim.

Selama tujuh bulan menjabat Kabareskrim, langkah penegakan hukum yang dilakukan kepolisian beberapa kali mengundang pro dan kontra, dan dianggap menimbulkan kegaduhan. Tetapi, benarkah Budi Waseso yang bikin gaduh ?

Pengkhianat di Polri

Pada 19 Januari 2015, Budi Waseso yang masih berpangkat Irjen dilantik menjadi Kepala Bareskrim menggantikan Komjen Suhardi Alius yang dimutasi ke Lemhanas. Budi mendapatkan kenaikan pangkat menjadi Komjen pada hari yang sama.

Pergantian itu sempat diwarnai pernyataan kontroversial Budi. Beberapa jam sebelum dilantik, Budi mengatakan, tidak menutup kemungkinan ada pengkhianat di internal Bareskrim.

“Ya, bisa saja, kalau pengkhianat internal itu, nanti yang urus internal. Nanti kami bahas lagi,” kata dia.

Meski tidak ada pejabat tinggi Polri yang bersedia menjelaskan, pernyataan Budi dianggap sindiran kepada Komjen Suhardi Alius yang disebut-sebut memberikan data soal kasus Komjen Budi Gunawan kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

“Dicap” kontra pemberantasan korupsi

Pada 23 Januari 2015, anak buah Budi, Kombes (Pol) Daniel Bolly Tifaona dan Kombes (Pol) Victor Edison Simanjuntak menangkap Wakil Ketua KPK Bambang Widjojanto atas tuduhan menyuruh saksi memberikan keterangan palsu pada sidang Mahkamah Konstitusi (MK) tahun 2010.

Bambang ditangkap seusai mengantarkan anak bungsunya ke sekolah. Penangkapan Bambang adalah awal munculnya isu KPK versus Polri jilid III. Pihak Bambang melaporkan penangkapan itu ke Komnas HAM yang berujung pada pemeriksaan Budi.

Budi juga dianggap sebagai aktor yang ingin melemahkan KPK dengan menjerat satu per satu komisionernya. Selain Bambang, Polri juga menyidik Ketua KPK Abraham Samad dan salah satu penyidik KPK Novel Baswedan. Samad dituduh memalsukan dokumen dan kasusnya ditangani Polda Sulselbar. Sementara, kasus Samad di Bareskrim, yakni penyalahgunaan wewenang lantaran dituduh bertemu dengan orang yang memiliki perkara.

Adapun, kasus yang menjerat Novel merupakan kasus lama yang sempat mencuat tahun 2012. Ia dituduh menganiaya hingga mengakibatkan seorang tersangka meninggal dunia. Saat peristiwa terjadi, Novel menjabat sebagai Kasat Reskrim di Polda Bengkulu.

Di bawah kepemimpinan Budi, Bareskrim juga menangani kasus yang menjerat aktivis antikorupsi, antara lain Denny Indrayana dan dua aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo serta Emerson Yuntho.

Budi Waseso vs Buya Syafii

Proses hukum dua pimpinan KPK di Bareskrim Polri sempat diwarnai adu pendapat antara Budi dan mantan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah, Ahmad Syafii Maarif, yang biasa disapa Buya Syafii. Buya menuding Budi telah melakukan kriminalisasi terhadap Pimpinan KPK. Oleh sebab itu, ia layak dicopot.

Harapan agar Budi dicopot tak hanya sekali dilontarkan Buya. Ia kembali mengungkapkannya saat Bareskrim Polri menetapkan dua komisioner Komisi Yudisial Taufiqurrahman Syahuri dan Suparman Marzuki ditetapkan sebagai tersangka pencemaran nama baik Hakim Sarpin Rizaldy.

Menanggapi pernyataan Buya, Budi mengatakan, “Beliau (Syafii) kan bukan orang bodoh. Dia pasti mengerti mana penegakan hukum yang benar ? Apa kapasitas beliau ? Enggak usahlah berkomentar dan mencampuri penegakan hukum kalau dia tidak mengerti penegakan hukum itu sendiri,” ujar dia.

Kasus kondensat hingga sapi

Beberapa kasus yang diusut Bareskrim di bawah kepemimpinan Budi Waseso, di antaranya, dugaan korupsi penjualan kondensat, dugaan korupsi pengadaan uninterruptible power supply (UPS), dugaan penimbunan sapi, dan dugaan korupsi mobile crane di PT Pelindo II. Kasus-kasus tersebut diduga melibatkan sejumlah nama besar sehingga Bareskrim Polri menjadi sorotan saat memanggil dan memeriksa mereka.

Namun, Bareskrim dikritik karena dari sejumlah kasus yang ditangani itu, belum ada yang masuk ke pengadilan alias P21, kecuali kasus UPS. Merespons kritik ini, Budi memastikan kasus-kasus itu tak ada yang mandek.

“Semua berjalan, tinggal menunggu saja. Jika ada kendala, bukan berarti berhenti semuanya kok. Yang penting kita berjalan apa adanya saja,” ujar Budi.

LHKPN

Pernyataan kontroversial juga pernah dilontarkan Budi pada medio Mei 2015, saat laporan harta kekayaannya dipertanyakan. Budi tak memenuhi kewajibannya sebagai pejabat negara dalam hal pengisian Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) kepada KPK.

Ia mengatakan, lebih baik KPK sendiri yang datang untuk menelusuri harta kekayaannya. Menurut Budi, hal itu lebih obyektif dan jujur ketimbang sang pejabat negara yang mengisi formulir LHKPN sendiri.

“Saya tidak mau saya yang melaporkan. Suruh KPK sendirilah yang mengisi itu. Akan malah lebih obyektif dong kalau begitu. Kan dia punya tim sendiri, cek sendiri dan sebagainya,” kata Budi.

Capim KPK jadi tersangka

Terakhir, pada pekan lalu, beberapa waktu menjelang penyerahan 8 nama capim KPK dari Pansel kepada Presiden Joko Widodo, Budi menyebut ada salah seorang capim yang telah ditetapkan sebagai tersangka. Namun, ia tak mau menyebut siapa calon yang dimaksud dan meminta Pansel untuk tak meloloskan nama yang “distabilo merah” oleh Polri. Sejumlah pihak menilai, pernyataan Budi sarat kepentingan dan “ancaman” kepada Pansel.

“Kalau tidak salah, ada yang dua hari lalu sudah ditetapkan menjadi tersangka oleh penyidik saya,” ujar Budi.

Pernyataan Budi juga dinilai sebagai upaya intervensi terhadap Pansel. Setelah berulang kali menyatakan tak akan menyebut nama capim yang menjadi tersangka, pada Kamis (3/9/2015) kemarin, Budi akhirnya mengatakan bahwa Nina Nurlina Pramono telah ditetapkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi dan pencucian uang di Pertamina Foundation. Mantan Direktur Eksekutif Pertamina Foundation itu masuk dalam 19 besar capim KPK.

Ceplas-ceplos

Terkait pernyataan-pernyataannya yang kerap menimbulkan kontroversi, Budi mengatakan, apa yang disampaikannya adalah hal yang biasa.

“Ya saya memang gitu, ceplas-ceplos,” ujar Budi, Kamis (3/9/2015) kemarin.

Namun, ia memastikan, pernyataan yang dilontarkannya dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya. Jika digeser karena dianggap menimbulkan kegaduhan, Budi tak mempersoalkannya. Ia menganggap jabatan adalah amanah yang suatu saat bisa datang, bisa pula pergi. (Kompas.com)