Menanti Terobosan Penanganan Kabut Asap

Pemerintah daerah harus meninjau izin-izin yang diberikan kepada pemegang lahan
Pemerintah daerah harus meninjau izin-izin yang diberikan kepada pemegang lahan

PENYELIDIK pegawai negeri sipil melakukan upaya penegakan hukum dengan pemasangan garis polisi di lahan-lahan yang menjadi titik-titik penyebaran kabut asap.

Menurut Direktur Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Raffles B Panjaitan, sudah ada 14 area lahan di Riau yang mendapat batasan garis polisi tersebut, selain juga di Sumatera Selatan dan Kalimantan Tengah.

Di Riau, area yang dibatasi oleh garis polisi adalah gabungan dari lahan milik perusahaan dan milik masyarakat.

Upaya ini, menurut Raffles, tak pernah dilakukan sebelumnya karena masalah koordinasi antara Kementerian Kehutanan dan Kementerian Lingkungan Hidup.

“Tapi karena sekarang kedua (kementerian) menyatu, bisa dilakukan pemasangan police line PPNS (Penyidik Pegawai Negeri Sipil),” katanya.

Selama ini, pelaku pembakaran tak pernah tertangkap tangan karena mereka biasanya melakukan pembakaran pada sore atau malam hari.

Pemasangan garis polisi ini, ia nilai, akan memudahkan penyidik untuk mengawasi orang-orang yang masuk ke sana sehingga nantinya bisa langsung diproses dan ditangkap.

Yang jelas, lahan dengan garis polisi tersebut tak boleh lagi dikelola.

Peran pemerintah daerah

Penyidik sudah memasang garis polisi di lahan-lahan yang menjadi sumber kabut asap
Penyidik sudah memasang garis polisi di lahan-lahan yang menjadi sumber kabut asap

Namun Raffles belum menjelaskan apakah ada batasan waktu sampai lahan tersebut boleh diberikan izinnya lagi.

“Prinsipnya, kalau sudah melakukan kebakaran, sudah proses pidana, tinggal pembuktiannya terjadi pembakaran di lahannya dia. Dari rapat dengan menteri, dirjen perkebunan, dan instansi terkait, kami masih membahas dari segi hukumnya, apa yang harus dilakukan terhadap areal itu,” kata Raffles.

Ke depannya, dia berharap pemerintah daerah harus berperan lebih karena proses pemberian izin ada di tingkat bupati dan gubernur.

“Jadi mereka harus membuat peraturan baru untuk diskresi, lahan yang sudah terbakar tidak boleh dikelola lagi dalam waktu sekian tahun, sehingga kemudian izinnya bisa dievaluasi, atau mungkin sampai pencabutan. Yang membuat izin yang harus mencabutnya. Kalau di tingkat penyidikan dan penyelidikan terbukti, dan sudah masuk ke pidana, otomatis bisa langsung dicabut izinnya,” katanya.

Selama ini, menurutnya, sulit untuk melakukan penanganan kebakaran lahan karena penyidik pegawai negeri sipil harus memverifikasi dulu apakah lahan tersebut masuk dalam kewenangan Kementerian Lingkungan Hidup atau Kementerian Kehutanan.

Dengan kewenangan kedua kementerian yang sudah menyatu, menurutnya, akan mempermudah penanganan kebakaran hutan dan lahan.

Mendasar

Penanganan kabut asap tak bisa lagi pada mengejar pelaku
Penanganan kabut asap tak bisa lagi pada mengejar pelaku

Upaya penanganan kabut asap masih terlalu berfokus pada penanganan darurat asap, tapi belum menyentuh masalah-masalah hukum mendasar yang bisa mencegah kabut asap terus berulang.

Direktur Eksekutif WALHI, Abednego Tarigan, mengatakan,”Kebakaran hutan dan lahan ini seperti membuka kotak pandora kekacauan tata kelola hutan dan lahan kita, sementara penanganannya masih bersifat darurat.”

Beberapa masalah yang muncul pun sebenarnya bukan hal baru, seperti perizinan yang tidak sesuai dengan tata ruang atau standar daya tampung dan daya dukung lingkungan yang belum jelas.

Hal ini menyebabkan pemerintah sulit mengendalikan izin-izin yang jumlahnya masif karena banyak pihak yang merasa statusnya legal sehingga mereka berhak berada di sana.

Pemerintah, menurut Abednego, khawatir jika mencabut izin mereka bisa diajukan ke Pengadilan Tata Usaha Negara, padahal itu adalah bagian dari tugas melakukan pengawasan dan evaluasi di lapangan.

Dalam penanganan kabut asap, pemerintah selalu berfokus pada mengejar pelaku.

“Mencari pelaku dalam pembakaran hutan dan lahan yang ratusan ribu hektar ya seperti mencari jarum dalam tumpukan jerami. Harusnya pemegang izin, pemilik konsesi yang dikejar,” kata Abednego.

Selama ini, dalam catatan WALHI, proses hukum tak pernah mengejar pemegang konsesi, melainkan hanya manajer lapangan.

Petani pemilik lahan yang menjadi sumber kabut asap sebenarnya sudah menjalani proses hukum, namun proses serupa tak pernah diterapkan pada perusahaan pemegang konsesi. (BBC Indonesia) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com