SIDANG perkara penodaan agama Islam dengan terdakwa Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok dapat dipastikan masih panjang. Itu setelah Majelis Hakim Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Utara yang diketuai Dwiarso Budi dalam sidang putusan sela pada Selasa (27/12) memutuskan untuk melanjutkan persidangan kasus Ahok.
Dan, sidang selanjutnya, akan dipindah ke gedung Kementerian Pertanian, Jl R M Harsono, Jakarta Selatan. “Atas dasar permohonan jaksa dan kepolisian, maka persidangan berikutnya kami tunda jadi 3 Januari 2017 di gedung Kementerian Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta Selatan,” kata ketua majelis hakim saat menutup sidang Ahok di eks gedung PN Jakpus, Jalan Gajah Mada, Selasa (27/12).
Majelis hakim menyatakan nota keberatan Ahok dan penasehat hukum terdakwa karena tidak beralasan menurut hukum sehingga sidang harus berlanjut ke pokok perkara. “Menyatakan keberatan terdakwa dan penasehat hukum terdakwa tidak dapat diterima, menyatakan sah menurut hukum dakwaan penuntut umum sebagai dasar perkara terdakwa atas nama Basuki Tjahaja Purnama,” kata Dwiarso.
Sebelumnya, dalam sidang perdana perkara ini Selasa (13/12), tim jaksa penuntut umum (JPU) yang diketuai Ali Mukartono membacakan surat dakwaan sebanyak tujuh lembar. “Terdakwa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan, atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia,” kata JPU Ali Mukartono.
Perbuatan Ahok yang menempatkan surat Al-Maidah ayat 51 sebagai alat atau sarana untuk membohongi masyarakat itu dinilai jaksa sebagai penodaan terhadap Al-Quran, sejalan dengan pendapat dan sikap keagamaan Majelis Ulama Indonesia (MUI) pada 11 Oktober 2016. Menurut MUI, surat Al-Maidah ayat 51 melarang muslim menjadikan orang Yahudi dan Nasrani sebagai pemimpin mereka. “Perbuatan terdakwa Ir Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam pasal 156-a Kitab Undang-Undang Hukum Pidana,” kata Ali.
Dalam pembacaan surat dakwaan ini, jaksa mendakwa Ahok dengan dakwaan alternatif pasal 156 a KUHP atau pasal 156 KUHP tentang Penodaan Agama.
Menurut pasal 156 KUHP, barang siapa di muka umum menyatakan perasaan permusuhan, kebencian atau penghinaan terhadap suatu atau beberapa golongan rakyat Indonesia diancam dengan pidana penjara paling lama empat tahun atau pidana denda paling banyak Rp 4.500.
Sedangkan menurut pasal 156 a KUHP, pidana penjara selama-lamanya lima tahun dikenakan kepada siapa saja yang dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia.
Terhadap dakwaan JPU tersebut, Ahok membacakan eksepsinya pada hari itu juga di depan majelis hakim. Ahok terdengar terisak saat menceritakan orangtua dan saudara angkatnya yang beragama Islam. Menurutnya, ia merasa seperti tidak menghargai keluarga angkatnya jika menghina atau menista agama Islam. “Saya sangat sedih, saya dituduh menista Islam, karena tuduhan itu, sama saja dengan mengatakan saya menista orangtua angkat dan saudara-saudara angkat saya sendiri, yang sangat saya sayangi, dan juga sangat sayang kepada saya,” kata Ahok.
Di akhir nota keberatannya, Ahok meminta majelis hakim membatalkan dakwaan yang dibebankan kepadanya. “Saya ingin kembali membangun Jakarta,” ucapnya.
Sedangkan penasehat hukum Ahok menyebutkan dalam nota keberatannya bahwa nota keberatannya diberi judul Pengadilan Oleh Massa (trial by the mob). Alasannya, pengadilan ini terjadi karena desakan massa. Selain itu jaksa dinilai mengabaikan atau setidak-tidaknya mengesampingkan keberlakuan (legalitas) dari mekanisme peringatan keras sebagaimana diatur UU No. 1/PNPS/1965 Tentang Pencegahan Penyalahgunaan Dan/Atau Penodaan Agama sebagai hukum positif yang belum pernah dicabut.
Di akhir nota keberatannya, penasehat hukum Ahok mohon kepada majelis hakim antara lain menyatakan surat dakwaan penuntut umum tidak dapat diterima.
“Proses penegakan hukum memang panjang dan berliku, karena itu sebagaimana halnya demokrasi, perlu kesabaran dan kedewasaan. Saya berkeyakinan bahwa bagian terbesar umat Islam Indonesia menghendaki cara-cara demokratis dan menempuh jalur hukum dalam menyelesaikan masalah yang dihadapi,” kata pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra dalam akun Facebooknya.
“Lain halnya kalau kita menggunakan cara-cara revolusioner di luar hukum dan konstitusi. Hasilnya bisa cepat, namun sebagaimana kebanyakan revolusi, ujung-ujungnya bukan hukum dan demokrasi yang ditegakkan, yang tegak justru adalah kediktatoran,” sambung Yusril menegaskan. (Tim) www.majalahfaktaonline.blogspot.com / www.majalahfaktanew.blogspot.com / www.instagram.com/mdsnacks