Membedah Skandal Ekspor Sawit,  Jejak PT. Karya Prajona Nelayan dan Manipulasi Pajak Negara

Dokumen facsimile transmission.

FAKTA – Di balik gemerlap bisnis minyak sawit, tersimpan cerita lama yang jarang dibongkar ke publik.

Kasus ekspor tahun 1995 yang melibatkan PT. Karya Prajona Nelayan di Medan memberi gambaran bagaimana praktik manipulasi dokumen dan penggelapan pajak bisa terjadi secara sistematis, bahkan dengan pola yang nyaris sempurna.

Menurut temuan investigatif, setiap dokumen ekspor tidak dibuat apa adanya, melainkan terlebih dahulu “diatur” setelah perusahaan menerima instruksi tertentu.

Petunjuk itu kabarnya datang dari staf Wilmar Trading PTE LTD, dengan kode khusus yang diberikan oleh oknum bernama Mr. Patrick atau Mr. Kamlesh.

Rujukannya adalah Surat Keputusan Menteri Keuangan RI Nomor 100/KMK.017/1985 yang mengatur tata cara perhitungan pajak ekspor.

Namun, aturan tersebut ternyata bisa dimanipulasi dengan mudah. Alih-alih melaporkan volume dan jenis barang sesuai realita, data diubah agar nilai pajak yang dibayarkan lebih kecil dari seharusnya.

Kasus mencolok terjadi pada 14 Maret 1995, ketika Kapten Kapal MT. Ararat menulis Notice of Readiness bahwa kapal telah memuat 4.700 metrik ton (MT) minyak sawit. Kapasitas penuh.

Namun, berdasarkan faksimile PT. Trikora Lloyd Palembang, kapal justru diarahkan menuju Dumai untuk menambah muatan 2.700 MT lagi.

Skema ini bukan sekadar pengalihan pelabuhan, tetapi cara licik untuk mengelabui pihak Bea dan Cukai.

Dokumen direkayasa agar seolah-olah hanya ada ekspor sebesar 2.000 MT + 2.030,977 MT.

Dengan skema ini, pajak yang dibayarkan hanya sekitar Rp352 juta, padahal seharusnya mencapai lebih dari Rp815 juta.

Negara diduga dirugikan hingga Rp462 juta lebih hanya dari transaksi ini.

Modus tidak berhenti pada volume. Jenis barang juga dimainkan. CPO (Crude Palm Oil), yang nilainya lebih rendah, dilaporkan sebagai komoditas utama.

Padahal, di dalam kapal juga terselip RBD PO (Refined Bleached Deodorized Palm Oil) dan turunan lain yang nilainya jauh lebih mahal. Selisih keuntungan dari manipulasi mutu ini diperkirakan mencapai Rp166 juta.

Jika ditotal, keuntungan ilegal yang diraup dari kasus ekspor MT. Ararat mencapai sekitar Rp625 juta—jumlah fantastis pada masa itu.

Catatan rahasia menunjukkan praktik serupa juga terjadi pada kapal lain, seperti MT. Woloan dan MT. Bunga Anggerik (kapal berbendera Malaysia) yang mengirim sawit ke Rotterdam, Belanda.

Polanya sama : barang dengan nilai tinggi dilaporkan sebagai CPO, sementara dokumen pajak diakali agar setoran ke negara jauh lebih kecil.

Kini, setelah kasus ini kembali mencuat ke publik, kawasan pelabuhan 3 Ilir Jalan Blabak yang dahulu ramai kini tampak lebih sepi.

Pagar tinggi yang selalu tertutup menjadi simbol bisu dari jejak praktik yang pernah berlangsung.

Kasus ini memperlihatkan bagaimana negara bisa dirugikan bukan oleh kekuatan asing, melainkan oleh permainan internal antara korporasi, oknum, dan celah dalam sistem.

Lebih dari sekadar penyelundupan, praktik ini adalah potret bagaimana kebijakan bisa dipelintir menjadi alat keuntungan segelintir pihak. (Laporan : ito || majalahfakta.id)