LIMBAH Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) dibagi menjadi 2 kategori yaitu limbah medis dan non medis. Kalau limbah medis ada ketentuannya di Peraturan Pemerintah (PP) No. 101 Tahun 2014 sudah diatur dan sudah disebutkan bahwa limbah medis disyaratkan ada batasan waktu yang harus disimpan. Kalau medis maksimal 2 hari, kalau disimpan di pendingin sampai 120 hari. Kalau sudah melewati batas waktunya harus diambil oleh pengelola limbah medis. “Sanksinya jelas ada karena nanti ada kaitanya dengan limbah medis sesuai dengan di media-media itu kan sangat rawan tidak boleh dibuang sembarangan. Begitu limbah medis itu keluar diambil oleh pengelola yang sudah kita ajak kerja sama. Itu kan harus dimusnahkan. Laporan yang sudah dikelola oleh pihak ketiga itu harus diminta oleh penghasil limbah medis. Yang menghasilkan limbah, misalkan puskesmas atau rumah sakit, wajib kontrak dengan pihak ketiga yang sudah memiliki ijin yang dikeluarkan oleh kementerian. Di sana ada pihak pengangkut sampai dengan dimusnahkan. Kalau cuma ijin mengangkut saja, dia tidak bisa memusnahkan maka dia harus bekerja sama dengan pihak pemusnahnya,” kata Agus Kristanto dari Bagian Limbah Dinas Lingkungan Hidup Kota Salatiga, didampingi Supriyono kepada Edi Sasmita dari FAKTA.
Dari limbah dari dalam TPS tadi, lanjut Agus Kristanto, mereka harus memiliki TPS B3 (tempat penyimpanan sementara B3). Di situ nanti pihak ketiga akan mengambilnya. Batasan pengambilannya diatur di perjanjian, ada yang seminggu dua kali, melihat dari timbulan B3-nya dalam 1 bulan itu berapa kilo ? Misalkan hanya sedikit, hanya berberapa kilo. Sedangkan kalau limbah itu termasuk ke dalam limbah berbahaya/limbah tingkat 1, harus masuk ke pendingin. Kalau yang di sini harus masuk ke TPS B3. Pihak ketiga tadi memang ada kewajiban untuk menyimpan sementara, tergantung jenis limbahnya, bisa sampai 90 hari.
“Pokoknya, kita harus buka peraturan pemeritahnya, semua itu sudah diatur di sana dan harus ada simbol pada limbah tersebut. Jika ada yang lupa memberikan simbol akan diberi sanksi. Kita kan ada pengawasan, jadi jika ada yang kurang maka pihak pengawasan akan memberikan surat peringatan yang kurang itu apa saja. Dan persyaratan untuk bangunan TPS B3 baik medis ataupun non medis juga sudah diatur dalam ketetapan. Sedangkan kalau limbah sampai meluap dan petugas pihak ketiga tidak bisa mengambilnya akan kena komplain. Pemerintah memberi solusi untuk memusnahkan limbah medis itu dengan dialihkan ke pabrik-pabrik semen nanti di sana kan ada pembakaran dengan suhu cukup tinggi sampai dengan 2.000 derajat. Tapi di sana ada ketentuan yang mengharuskan limbah B3 infeksius kategori 1 dibungkus lagi dikemas dengan ukuran 30 cm persegi sesuai permintaan pabrik semen untuk memudahkan memasukkannya ke pemanas pabrik semen bersuhu 2.000 derajat celscius. Nah yang menjadi kendala lagi karena jika terlalu besar limbah itu tidak bisa masuk. Kalau urusannya dengan limbah RSUD kita sudah memanggil rapat bersama terkait dengan tindak lanjut penanganan limbah medisnya. Waktu itu sudah disampaikan bahwa pihak rumah sakit sudah bekerja sama dengan pihak ketiga. Oke penumpukan di sana sekarang sudah berapa ? Kami sebagai pihak pengontrol akan meninidaklanjuti. Kita lihat dari beberapa rumah sakit di Salatiga limbahnya tertangani atau tidak. Kalau sudah tertangani, diangkut, tidak masalah. Kalau memang ada informasi akan kami tindak lanjuti baiknya bagaimana. Kita sifatnya pengawasan, jadi kita akan berikan surat peringatan. Informasi ini saya baru dapat, karena mereka kemarin sudah oke. Jadi nanti kita akan berikan surat peringatan segera untuk melakukan tindakan untuk pengelola limbah medis yang belum ditangani apakah itu karena faktor pihak ketiga yang tidak mampu melakukan atau faktor lain”.
Untuk pengelolaan limbah B3 itu jelas ada sanksinya. “Kalau kita baca di UU No. 32 Tahun 2009 pasal 103 bahwa setiap orang yang menghasilkan limbah B3 dan tidak melakukan pengelolaan sebagai maksud di pasal tersebut dikenakan sanksi pidana penjara paling sedikit 1 tahun dan paling lama 3 tahun dan denda paling sedikit Rp 1 miliar dan paling banyak Rp 3 miliar. Jadi setiap orang yang menghasilkan limbah B3 wajib mengelolanya sampai dengan memusnahkannya. Makanya kita selaku pengontrol dan pengawasan hanya memberikan sanksi administrasi berupa surat peringatan 1, 2, 3. Kalau tidak dipenuhi kita lakukan sanksi paksaan dan pencabutan ijin. Kalau sanksi pidananya dari pihak kepolisian atau penegak hukum”.
Ketika dikonfirmasi Edi Sasmita dari FAKTA, Direktur RSUD Kota Salatiga, dr Pamuji, belum memberikan tanggapan. (F.867)